Amarah

42 4 4
                                    

Jumat, Februari 2004

Kenapa sih Ayah marah-marah? Katanya Asya jarang bersihin rumah sering main terus. Ayah jahat, Asya tidak mau ngomong dengan Ayah. Tadi saja Asya masuk kamar terus tidak mau ketemu Ayah.
Tuh kan kak, Asya jadi nangis lagi. Belum lagi nenek sekarang masih di rumah sakit. Kapan nenek pulang?

***

"Sudah, Asya pulang dulu, Nenek sudah baikkan kok. Itu ada Paman Jabir jagain," ujar Nenek sambil tersenyum ke arah Asya.

Paman Jabir juga baru saja datang. Sepertinya sedikit basah di bagian kerah bajunya. Mungkin berusaha menghindar dari terpaan hujan sepanjang parkiran rumah sakit.

Hari ini sedikit kelabu bagi gadis kecil itu. Ya mau bagaimana lagi, ia yang bersikeras untuk tidak sekolah hari ini, meskipun sedang ramai menyambut ulang tahun sekolah. Walau bagaimana pun, nenek lebih penting.

Asya menggeleng. Ia masih ingin di sini, menemani nenek yang kini terpasang selang di hidungnya. Belum lagi di rumah pasti sangat sepi, tadi pagi Ayah izin tidak bisa menemani Asya dan Nenek di rumah sakit, katanya ada tugas kantor yang membuat ia harus meliput ke luar kota. Kalau dipikir-pikir sejak kapan Ayah seperti ini, menyampingkan urusan keluarga dengan pekerjaannya. Pasti karena perempuan berkacamata itu.

"Asya mau temani nenek terus," ucapnya luluh. Memainkan ujung selimut putih yang kini telah berbau sama dengan aroma rumah sakit.
Nenek kembali mengembangkan senyum. Ia sebenarnya ingin Asya lebih lama di sini, mengingatkan ia ketika Halimah masih kecil dulu, teringat bahwa putri kecilnya itu begitu sedih ketika Bundanya masuk rumah sakit.

Setelah sedikit berdebat dengan cara halus dan tenang, akhirnya Asya menyerah. Dengan janji bila pulang siang ini, nenek juga harus pulang besok hari. Nenek Kartika mengisyaratkan putranya Jabir. Segera mengantar pulang sebelum hujan kembali deras.

Gadis kecil itu segera menyambar jaket dan baju putihnya, lambang telah berganti. Tidak terasa ia kini naik satu tingkat di SMP, begitulah namanya sekarang menyesuaikan peraturan mentri yang kian ribet.

Di jalan ia sedikit berbicara. Paman Jabir juga sibuk menelpon, mungkin saja itu bibi yang kini sedang hamil tua. Belum lagi cuaca sedang mendung kala itu. Membuat angin di sekitar terasa dingin. Kini, Asya semakin dewasa, menuju masa-masa pubertas seorang perempuan. Yang paling menyedihkan ialah nenek sekaligus guru pubertasnya ini terbaring di rumah sakit.

***

Lelaki itu kembali menjepret, kali ini bukanlah sebuah objek yang akan masuk di dalam majalah. Hanya objek yang kini masuk ke dalam hatinya. Dapat! Dengan angel yang pas dan sisi terbaik. Membuatnya tersenyum kecil sembari memandangi kamera bermerk fujifilm itu.

Sang perempuan yang sempat menyadari bahwa ia dipotret kini berbalik dari tempat duduknya. Ceria ketika menemui rekan kerjanya itu. Hari sedikit cerah pagi ini, ya di kota sebelah.

"ih ... Kak Ardi, sudah ditunggui dari sejam loh," ujarnya sedikit kesal yang dibuat-buat. Kak? Itu permintaan Ardi agar ia tidak merasa terlalu tua. Meskipun berbeda delapan tahun dengan sang perempuan.

"Mau langsung saja atau duduk dulu?" Ardi menarik kursi. Memang hari ini mereka ada jadwal untuk meliput bersama. Kini kantor koran tempat mereka berdua bekerja juga telah berkembang, merambah ke bisnis majalah yang tersebar di satu provinsi. Lumayan untuk penghasilan duda satu anak ini.

"Duduk saja dulu lah, kan Kakak capek kan? Lumayan jauh sih dari rumah." Gadis itu kini mengembangkan senyum, membuat Ardi-kembali-jatuh cinta.

Setelah berbincang sebentar, mengobrol dengan gelak tawa yang mewarnai kisah mereka akhirnya pasangan kerja itu berangkat. Entah sejak kapan ini dimulai, sudah setahun lamanya. Padahal awal mula mereka menjalinnya hanya sebatas teman, tidak lebih. Ardi tidak ingin patah kembali, namun seiring berjalannya waktu ... ya kau tahulah.

Meski tidak berpelukan erat layaknya muda-mudi yang menjalin kasih, tapi tetap ada kesan yang spesial. Mengobrol tentang kehidupan masig-masing. Berbicara tentang masalah politik yang hangat-hangatnya, atau cuaca yang menghantarkan semilir anginnya.

Setelah berkeliling, akhirnya mereka sampai pada tujuannya. Meliput kantor yang memang sudah ditugaskan. Gadis itu yang mewancarai dan Ardi yang merekam jawaban serta mengambil gambar, selesai.

"Ahhhh ... lega banget." Sang gadis merenggangkan tangan.

"Sudah beres nih kan, jangan sampai ada yang lupa. Nanti malah gak dapat halaman lagi loh," Ardi berujar singkat, ada dering di telepon genggamnya. Ia abaikan.

Beginilah harinya sekarang, seperti ada warna baru. Ada warna yang lebih spesial. Setidaknya begitulah pemikirannya saat ini.

"Yuk Kak, pulang," ucap sang gadis menuju motor.

"Eh tunggu Vi." Ardi menghentikan langkah Via, meraih lengannya yang tertutup dengan baju berlengan panjang. "ada yang mau aku omongkan, bisa kan?"

***

"Kalau kamu memang serius, coba saja dulu. Urusan hasil nanti bisa belakangan, jangan lama-lama. Ibu selalu dukung asal kamu bisa." Begitulah perkaataan Bu Kartika ketika tahu ada perempuan yang 'baru' mengisi hati Ardi. Segeralah.

Asya? Meskipun gadis kecil pujaannya itu sempat ragu, mungkin saja karena takut tidak ingin melihat Ayahnya menangis sekali lagi, tapi ia memaklumi. Ia juga sudah dipertemukan dengan Via, dan hasilnya begitu memuaskan. Walau tidak sedekat saat berjumpa dengan Lia.

Ini harus dipersiapkan dengan matang, tidak boleh ada kesalahan dan hambatan. Ia juga benar-benar memastikan, riset dan analisa agar bukanlah perasaan sepihak yang membawanya ke jalan ini. Tapi memang kepercayaan yang tulus dari masing-masing hati. Waktunya mengungkapkan, waktunya serius.

"Vi, mau kah kamu menjadi istriku?" to the point, tidak perlu berbasa-basi. Sudah setahun dia menunggu.

Wajah gadis itu memerah, diam sejenak. Apa ia tidak menyangka? Apa tidak ada prediksi sebelumnya? Ia dengan cepat mengalihkan muka yang memerah padam, melihat lalu lalang orang yang bersepeda jalanan agak lenggang sore ini.

Lama Ardi menunggu jawaban, ingin sekali ia mendesak, menyadarkan Via dari lamunannya.

"Maaf Pak ... Saya ... tidak bisa." Datar, ia kini berganti dengan sapaan Pak yang kaku dan sebatas senior dan mahasiswi magang. Lelaki di depannya juga hanya terdiam, mungkin sudah mengira ini bakal terjadi, "Saya permisi Pak, maaf."

Ia menarik kursi berlalu meninggalkan pintu, segera menghentikan taksi.
Meninggalkan Ardi dengan perasaan sedih, kecewa, lebih tepatnya marah.

***

Penat, begitulah isi kepalanya saat ini. Pintu rumah didobraknya kesal setelah membiarkan motor yang terparkir tidak karuan menghadap kemana. Sejak melewati teras lampu masihlah gelap, hanya ruang keluarga yang menyala terang. Membuat sang Ayah mengembus napas pelan.

Lampu ruang tamu berkedip-kedip sebelum menyala seutuhnya, menampakkan sepatu gadis kecil yang tergeletak sembarangan, diikuti tas dan juga seragam putih di atas meja kayu. Ia mengembus napas pelan.

Ardi mulai melangkah ke ruang makan, membuka sebungkus nasi goreng yang ia beli sebelum pulang. Setelah kejadian patah untuk kesekian kalinya. Dilihatnya piring kotor sisa makanan di atas meja. Intinya rumah begitu berantakan sejak ia pulang, lantai masih menyimpan debu yang menempel di kaki.

Pintu salah satu kamar terbuka ketika Ardi membawa piringnya. Piring keramik itu pecah, suaranya menggema keras diikuti emosi Ayah yang meluap.

"KENAPA SIH ASYA? TIDAK LIHAT AYAH BAWA PIRING, MAU KAMU APA? SUDAH RUMAH KOTOR SEMUA, KAMU HABIS SEKOLAH MAIN TERUS HAH?"

Entah apa yang dipikirkan sang Ayah kalimat itu keluar begitu saja, dengan nada yang tinggi pula. Membuat Asya menarik diri, mematung dan tertunduk dalam. Lama dia tertunduk, air mata mulai mengalir dengan bibir bergetar.

"Ayah jahat!" ucapnya singkat, tidak kalah keras. Diikuti langkah cepat kembali ke balik pintu.

Membuat sang Ayah tersungkur. Memegangi kepalanya yang memanas sembari menangis memunguti piring keramik yang pecah tadi. Apa yang telah ia lakukan?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 14, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now