Day seven

7.8K 608 51
                                    

Setelah melakukan tes darah, Dewa sengaja mengangkat kaos tangannya panjang-panjang lalu memampang kain kasa yang menutupi bekas jarum besar itu dihadapan Ben.

Meski begitu, abangnya masih tetap cuek tidak menanggapi semua tingkah polah Dewa. Tapi emang dasarnya Dewa gak bisa diam, dia terus nyari perhatian Ben sambil bolak-balik di depan Abangnya biar diliat Ben.

Bahkan, kalo Ben keluar buat ketemu pasien, dia masih ngikutin Ben.

Kalo ada yang nanya ke Ben siapa dia, Dewa sekarang yang menjawab antusias, "Adeknya".

Hari ini, judulnya ngintilin BangBen aja. Ampe muka Dewa pucat sendiri, dia gak nyangka jadi abangnya semelelahkan itu, dan abangnya belum juga mau nanya dia lagi..

Dewa rasanya jadi kesel sendiri, "Bang, jangan marah terus" Bujuknya lagi.

Sialnya, Ben pura-pura gak denger, padahal dia udah lasang suara melas, sebenarnya gak sepenuhnya sengaja, aslinya badan Dewa super lemes.

Ini perasaan baru, seperti sesuatu tertarik ke arah hidungnya. Dengan cepat Dewa bangkit lalu menengadah takut sesuatu mengalir dari hidungnya.

"Euhhhhh," Desahnya ketika kepalanya mendadak pusing.

Dewa tahu, abangnya langsung bangkit lalu menghampirinya.

"Jangan dongak" Ben langsung sigap mengubah posisi kepala Dewa menjadi menunduk, "Apa yang lo rasain?".

Dewa tidak bisa menjawab, tenggorokannya rasanya sangat sakit sekarang, "Pusing".

Wajah Ben super khawatir, "Bisa minum obat?".

Dewa menggeleng, dia yakin tidak. Karena tenggorokannya sangat sakit sekarang.

"Mau dipanggil, Gema?".

Dewa kembali menggeleng, bukan dokter yang dia butuhkan. Dia butuh abangnya.

Seolah membaca fikirannya, Ben merengkuh adiknya, membiarkan adiknya bersandar padanya, Ben mengelap darah Dewa dengan telaten dengan tissue yang tadi dia tarik.

"Abang, sakit" Dewa memukul ulu hatinya pelan, seolah mengerti, Ben mengusap ulu hati adiknya pelan.

Ben tidak peduli, bahkan mereka kini sedang duduk dengan posisi Dewa bersandar lantai sebelah meja Ben.

"Gak apa-apa Dek, kamu yang tenang" sebenarnya, Ben yang paling panik sekarang.

Jarang sekali Dewa kumat dengan mimisan. Biasanya, jika sudah begini artinya Dewa sangat kelelahan, Ben sendiri menghembuskan nafasnya kencang, merasa menyesal membuat Dewa mengikutinya seperti anak kecil.

Kalau tau begini, mending adiknya disuruh untuk langsung pulang.

Dewa kembali berdesih keras, kepalanya benar-benar sakit. Dia meringkukkan tubuhnya ke arah Ben, tidak peduli kalau jas Ben sudah penuh dengan darahnya.

"Dewa kuat" Ben langsung memeluk Dewa erat, dia sudah tidak peduli apapun selain Dewa, bahkan dia lupa kalau sedang marah kepada anak itu.

Untuk pertama kali Dewa menitikan airmata, rasa sakit itu benar-benar menyakitkan, dia tidak akan sanggup jika tak ada Ben yang memeluknya sekarang, dan menenangkannya, elusan dikepalanya bisa membuatnya dia merasa mengantuk karena rasa lemasnya.
🌿🌿🌿

Setelah mendengar dengkuran dari Dewa yang tertidur dengan pelan Ben mengangkat tubuh sang adik lalu menidurkannya di ranjang yang ada di ruangannya.

Dia menghubungi Gema lalu memintanya datang ke ruangannya.

Dokter itu datang tak lama berselang, sedikit panik karena melihat Ben begitu berkeringat dengan jas dokter yang sudah terkena bercak darah.

Dengan panik Gena Menghampiri Dewa yang berbaring itu, mengeluarkan stetoskop di sakunya lalu memeriksa pemuda itu telaten, "Detak jantungnya rada cepet, kayaknya dia kecapekan ampe dia ngedrop. Badannya juga panas, makanya dia mimisan. Tapi dia gak papa, cuman butuh istirahat aja".

"Dari kecil Dewa gak bisa minum obat, sekarang dia gak bisa kalo badannya sakit otomatis badannya bakal nolak, apa lo punya solusi?"

Gema berfikir sejenak, "Kalau disuntik?".

"Dia gak mau, tapi kalo tiap kambuh gue gak bisa kasih dia obat, Gem. Kasian".

"Suka enggak suka, sekarang paling bagus kalo dia urgent kayak tadi, terpaksa lo kasih injeksi buat ngurangin sakit dia."

Ben mengangguk, Gema benar. Dia tidak boleh terlalu menuruti keinginan Dewa sekarang.
🌿🌿🌿

Ben memapah Dewa menuju mobil, tadinya dia akan merawat adiknya di rumah sakit, tapi Dewa jelas menolak.

Dia tidak punya teman kalo di rumah sakit, kalau di rumah kan nanti dia bisa minta ditemenin sama Bian, kalau sendirian pun banyak barang pribadi yang bisa membunuh rasa bosannya.

"Bang?"

Ben berbalik ke arah Dewa, bertanya kenapa adek memanggilnya meski dengan suara sangat lemas.

"Beliin ayam geprek".

Abangnya mendecih, jadi lagi manjanya Dewa. "Iya".

"Yang ikhlas"

Ben membuka kunci mobil lalu mendudukkan Dewa. "Gak ikhlas juga lo tetep maksa".

"Iya kalo abang gak ikhlas, nanti perutku sakit" Dewa kembali mengeluarkan jurus puffy eyesnya, tapi seperti biasa, puffy eyes Dewa tidak pernah berhasil.

"Iya" Jawab Ben cukup keras. Dengan sigap Ben memasangkan sabuk pengaman pada Dewa, tapi anak itu malah terkikik keras "Kenapa ketawa?".

"Inget waktu kecil, pas pertama Om Dodi beli mobil terus kita diajak ke Bandung"

Ben mengerutkan kening, merasa tidak ada yang aneh dengan kenangan itu.

"Abang tuh dulu gak bisa masang belt" Dewa tertawa terbahak-bahak.

Sedangkan Ben, dia hanya tersenyum kecil, merasa lucu dengan masa lalunya, tangannya kini menyalakan mobil. "Iyakan, dulu abang gak ngerti".

Dewa menerawang masa lalunya dengan Ben dulu, ketika pertama kembali ke Indonesia lalu langsung tinggal dengan Nik akung dan Om anak Nik Akung yang paling muda, Om Dodi.

"Abang jadi kangen Om Dodi".

"Besok ke Bandung, yuk Bang?".

Ben mendelik tidak suka pada adiknya, "Lo masih lemes gini" Ujar Ben sambil membenarkan Rambut Dewa yang sedikit acak-acakan.
🌿🌿🌿

Ben menatap adiknya yang memakan ayam gepreknya yang tadi dia beli, ada perasaan kasian saat Dewa seolah akan memuntahkan makanannya, namun anak itu terus memaksakan untuk makan.

Dia sudah melarang Dewa memaksakan makan, tapi adiknya itu seolah keras kepala dan tetap melanjutkan makannya.

Ben bangkit dari duduknya, mengambil obat lalu menaruhnya dipiring kecil. Ditaruhnya disebelah Dewa, Dewa sudah mengernyit tidak suka, makin tidak suka ketika Ben keluar dari kamar dengan membawa sebuah suntikan dan botol kecil yang masih di segel.

"Abang sejak kapan mainnya gituan?".

Ben menunjukkan suntikannya, mengisyaratkan pertanyaan apa gituan yang dimaksud Dewa itu suntikan.

"Iya, ngeri tau".

"Kalo lo gak mau minum obat, Gue bisa bantu masukin obat lo pake suntikan" Jelas Ben.

Tentu Dewa merenggut, minum obat saja rasanya terpaksa, sekarang ditambah suntikan, "Iya, gak susah lagi minum obatnya".

"Jangan manja" Abangnya kembali duduk, dia mengambil sebuah permen di topless yang sengaja dia letakkan disana, sebagai ganti rokok yang biasanya menemani kalau Ben udah makan.

Kadang, Dewa merasa kasian kepada sang Abang. Pengorbanan yang jelas bisa Dewa lihat, ya tentu Ben yang ikut merubah hidupnya.

Biasanya, Abangnya akan membeli makanan cepat saji untuk dirinya dan Ben sendiri. Tapi sekarang, Ben bahkan rela memasak untuk dirinya.
Lalu soal rokok, abangnya yang seorang perokok berat dari jaman SMA harus berhenti, padahal kalo mau, Ben bisa saja hanya berhenti merokok di depan Dewa, tapi Dewa yakin kalau Abangnya benar-benar sudah berhenti merokok sekarang.

Dewa menempatkan pandangannya pada Ben yang kini terlihat melamun, memikirkan sesuatu yang Dewa tidak tahu, tiba-tiba mata mereka bertubrukan lalu Ben bertanya dengan suara pelan.

"Dek, Mama pengen ketemu. Gimana?".
TBC...

Todayحيث تعيش القصص. اكتشف الآن