Day twelve

6.4K 520 27
                                    

Seminggu setelah sadar, Dewa kembali sebelum operasi. Dia sudah bisa duduk diatas kursirodanya lagi, membuat keributan lagi, dan bisa mengganggu Kakaknya pacaran lagi.

Seminggu setelahnya juga, dia kembali mengunjungi ruangan dokter Gema, dan duduk berdua dengan Abangnya untuk mendengar keadaan hati mereka, apa sudah berkembang, atau belum.

Gema meletakkan kacamata bulat diatas dokumen yang baru saja dia baca, dokumen kesehatan Ben yang lebih dulu dia baca duluan, dia tersenyum tipis. "Gak sia-sia sih, lo jadi dokter, dua minggu hati lo bisa berkembang dengan baik. Mungkin minggu depan, lo bisa balik kerja".

Ben dan Dewa tersenyum semangat sambil bertatapan, mereka melakukan tos kemudian.

"Tapi, soal Dewa bukan berita baik sih".

Tiba-tiba suasana berubah menjadi hening kembali, Dewa dan Ben kembali menatap Gema dengan tatapan tegang dan penasaran.

"Hasilnya", Gema menjeda sekitar 10 detik, "Baik. Hatinya juga berkembang, dan Kanker dijaringan hati juga positive bersih".

Senyum lebar terhias di wajah kakak beradik itu, mereka mengekspressikan kebahagiaannya dengan berpelukan erat.

"Jangan seneng dulu, Dewa belum bebas dari perjuangan. Kita harus memastikan, imun di tubuh Dewa gak menolak donor, makanya kita masih tetap harus ngasih obat agar imun tetap pro, dan menguatkan hati Dewa" Jelas Gema lagi.

"Makasih, Ma. Gue sangat bahagia, akhirnya adek gue survive".

Gema tersenyum teduh, merasa bahagia karena melihat kedua kakak beradik ini saling memeluk satu sama lain lalu dia mendengar Ben yang sepertinya menangis terharu.

Gema tahu, sebenarnya tidak ada ujung dari perjuangan. Dan dia sangat berharap, Ben dan Dewa juga tahu hal itu.

"Kanker bukan penyakit yang bakal hilang total setelah sembuh".

Ben dan Dewa mengurai pelukan mereka, kembali menatap Gema intens. Sebenarnya Ben tahu tentang hal itu, setiap orang memiliki jaringan kanker dalam tubuhnya, hanya saja kanker seperti gunung merapi yang tertidur, dan suatu hari karena satu akibat akan bangun dan berkembang.

"Kanker itu kayak Flu, kalo gak dijaga, pasti bakal kambuh. Jadi, aku harap kalian saling jaga. Ben tolong banget perhatiin Dewa, agar kalau ada apa-apa kita bisa langsung tau".

Ben mengangguk mantap, dalam hati dia sudah bertekad akan menjaga adiknya lebih ketat dari sebelumnya, dengan suara lantangnya dia berkata "Pasti".
🌿🌿🌿

Dewa mulai mengeluarkan HP di saku celananya, setelah sampai diapartment dia memang langsung masuk kamar dan bersandar dikepala ranjangnya.

Dia ingin menagih janji pada Ben, maka dari itu dia mulai mencari gambar yang bagus dan dia sukai.

Ben masuk tak lama setelah Dewa menemukan gambar yang dia maksud, Abangnya itu membawa piring kecil tempat empat tabletnya biasanya siap disajikan.

Tak biasanya Dewa tersenyum lebar menyambut Ben, dan tentu itu membuat Ben heran.

"Kalo Naya senyum kayak gitu, artinya dia minta beliin tas baru, loh". Ujar Ben sambil duduk disebelah Dewa dan mengasongkan piring kecil yang tadi dia bawa.

Dewa tidak langsung menjawab, dia meminum obat itu lalu meneguk air dalam gelas. "Tapi aku gak mau minta tas".

"Terus?".

"Ini" Ben terbelalak dengan yang Dewa tunjukkan padanya.

"Enggak, ahh. Itu gede gambarnya. Lagian dulu lo takut suntikan".

Dewa mendelik kesal sebenarnya mendengar penolakan Ben, "Kenapa gitu? Abang punya Scorpio borneo dari jaman sekolah. Masa gue gak boleh?".

"Iya boleh sih, tapi.. "

"Please, Bang".

Ben menghela nafas dalam, salahnya juga sih yang memang menyukai seni merajam tubuh. Meski tau salah, rasa jiwa bebasnya tak dapat menolak untuk di eksplorekan.

Ben sendiri sudah memiliki hampir 6 tato ditubuhnya, dan itu semua masih dalam ukuran kecil, tapi melihat yang disodorkan Dewa, sepertinya adiknya ingin menghilangkan wajah manisnya dengan tato besar ditubuhnya.

Tak ada pilihan lain selain pasrah, toh Ben bisa kalah dengan senyum lebar yang Dewa tunjukan.
🌿🌿🌿

Tiga tahun berlalu, Dewa sudah melalui masa survivenya dengan bahagia. Dia sudah lulus kuliah, meski dengan nilai seadanya.

Tapi dia sudah bekerja, jadi drummer panggilan untuk band di cafe. Kadang dia juga manggung dengan Bian dan Raehan kalo lagi ada pensi sekolah.

Dia menjalani hidup dengan menyenangkan setidaknya.

Ben masih sibuk di rumah sakit, menjadi Dokter tulang yang cukup ahli.

Dewa kadang heran, Abangnya kan bego, kok bisa jadi dokter ahli.

Jadi dokter ahli, Ben jadi super sibuk. Jadinya dia gak punya waktu buat Dewa lagi. Pulang malem, bahkan gak pulang.

Beruntung hari ini Ben pulang cepat, itu juga karena Ben ingin menemani adiknya yang bilang sedang tidak enak badan itu.

Dewa merasa sesak belakangan ini, mungkin efek kebanyakan bergaul dengan Bian yang ngerokok.

Terus juga mual dan sakit perut, ini sih dia memang merasa bersalah karena sering begadang, apalagi kalau lagi abis mabuk.

Tadi dia minta dikerok ama abangnya, tapi Ben tidak mendengarkan.

Ben hanya mau memijit Dewa, itu juga dia bilang nanti kalau Dewa sudah makan.

Makanya, setelah beres makan Dewa langsung memanggil abangnya dan meminta untuk dibalur dengan minyak kayu putih, biar badannya besok enakan.

Ben datang dengan minyak kayu putih ditangannya, dia menatap adiknya yang sudah membuka bajunya itu. "Balik sana, lo".

Dewa menurut, dia berbalik ke arah ranjangnya menatap datar bantal berwarna abu miliknya.

"Kenapa sih lo, tumben sakit".

"Gue manusia yang bisa juga sakit, lagian kan gini kerjaan musisi, orang mah libur gue kerja".

Ben berdecak, "Makanya punya otak jan karatan, jadinya kan ngelamar kerja gak diterima terus".

"Kok abang bangke, ya?".

"Gue bangke, elu apa?".

Dewa menghela nafas pelan, lalu mengusap dadanya pelan. "Bang, kok sesak ya? Apa gue kena tbc?".

Dengan keras Ben menoyor kepala Dewa, "Jan ngelantur".

"Terus kenapa, dong?".

"Itu lu ngerasa apaan?".

"Sesak belakangan ini, terus perut juga sering sakit dan mual, kadang kepala sakit, sama" Dewa sebentar mengingat apa saja yang sering dia rasakan, "Dua hari yang lalu, gue mimisan bang".

Ben menghentikan acara mengoles Dewa dengan minyak kayu putih itu, dia menatap punggung putih Dewa yang tidak tertutup Tato.

Mungkin Dewa tidak menyadarinya, karena tato ditangan dan dadanya yang cukup luas. Tapi Ben menyadarinya, tubuh Dewa, "Kuning?".

"Apa yang kuning".

Dengan cepat Ben membalik tubuh Dewa, menatap mata adiknya dan menemukan bahwa mata adiknya juga menguning.

Jantung Ben tiba-tiba berdetak cepat sekali, dia langsung beranjak ke kamarnya lalu menghubungi Gema.

"Gem, apa mungkin" Ben langsung berbicara ketika telfonnya diangkat, tapi dia berhenti cukup lama. Lalu berbalik menatap adiknya yang mengikutinya ke kamar.

Ben tak mau berspekulasi, tapi semua gejala ada pada Dewa, dia takut untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berlalu.

"Adek gue, kena regional recurrence?".

🌿TBC🌿

TodayWhere stories live. Discover now