Day fifteen

6.1K 503 73
                                    

Ben memasuki kamar hotel setelah pulang dari mengantar Lalice, dia memang sengaja tidak mampir karena khawatir dengan adik lelakinya, Dewa.

Suara keran terdengar dibalik kamar mandi. Setelahnya, suara knop pintu yang diputar mengalihkan pandangannya pada orang yang baru keluar dari sana.

"Bang, sesak" Adu Dewa sambil mengurut dadanya sendiri.

Dengan sigap dan perasaan panik Ben menghampiri Dewa, menuntun anak itu ke arah single bed tempat dia tidur. Ben segera mengambil tasnya, mengeluarkan oksigen portebel dan memasangkannya di hidung dan mulut Dewa. "Pegang ini sebentar Dek".

Dengan terburu-buru Ben mengeluarkan suntikan dan tabung kecil, mengisinya lalu mengambil tangan Kiri Dewa yang tak memegang oksigen lalu menyuntikkannya di bagian dalam sikunya.

Setelah itu dia segera memasangkan infuse dan mengambil alih oksigen portebel agar Dewa bisa tidur.

"Makanya, Jangan bandel. Coba nurut ama abang". Nasihat Ben sambil memposisikan tubuhnya disamping Dewa.

Dewa menatap Abangnya dengan tatapan jengah, kalau menurut ama abangnya pasti dia masih dirumah sakit, dan itu pasti membosankan.

"Sekarang tidur, besok kita pulang".

Mendengar kata pulang Dewa melepaskan masker oksigen portebelnya, "Baru juga dateng tadi siang" Ujarnya dengan suara pelan dan helaan nafas beratnya.

"Iya makanya pulangnya besok, bukan sekarang. Tidur!".

Dewa tidak menjawab lagi, dia hanya menggerutu kesal sambil mencoba menutup matanya, tubuhnya sedang tidak bisa diajak kompromi sekarang.
🍃🍃🍃

Dunia itu kejam, entah hanya itu yang Ben rasakan ketika menginjakkan kaki di Singapore.

Dia tentu ingat, dulu dia tinggal disini saat balita. Dibesarkan oleh dua orang dewasa yang menyebut dirinya Papa dan Mama.

Satu malam, Ben melihat dua orang itu saling melemparkan teriakan dengan kata-kata kasar, membiarkan adiknya menangis sendirian dikamar.

Keesokan harinya, sang Mama menghilang. Menyisakan Papa yang berteriak padanya, menyuruhnya memasukkan pakaiannya dan sang adik kedalam tas besar.

Mereka pergi, ke tempat baru dimana Mamanya berada.

Setelah itu Ben tinggal disana, tapi tidak mengenali sang Mama. Orang itu semakin asing, bahkan dia enggan menyusui Dewa kecil.

Dewa baru dua bulan, tapi tidak disusui.

Ben mengusap wajahnya, saat sadar lamunannya sudah semakin jauh. Dia ingin segera pergi dari sini, dia sudah tak tahan harus mengingat kenangan kecil yang membekas dihatinya itu.

Dia tahu, kenangan bukan untuk dibenci, meski kenangan itu pahit. Setidaknya, waktu membiarkannya bersama Dewa sampai hari ini, dan dia hanya akan menjaga adiknya sampai kapanpun.

Lamunannya kembali terusik ketika Dewa memanggilnya pelan, "Kenapa?" Tanya Ben sambil menghampiri Dewa.

"Sakit" Dewa meremas perutnya sambil meringkuk diatas kasurnya.

Ben mengusap perut Dewa yang sedikit kembali membengkak itu, tangan yang lainnya merogoh satu butir obat. "Minum obat dulu, kuat?".

Dewa mengangguk, dia sedikit bangkit lalu menelan obatnya. "Maaf, Bang".

"Buat?".

"Gue ngerepotin, kalau gue gak kesini, pasti lo gak bakal repot". Ujarnya dengan suara pelan.

Dewa mengusap kepala Dewa pelan, "Gak papa, ini semua tugas gue. Tugas lo cuman berusaha buat bertahan".

Dewa tak menjawab, efek obatnya mulai bekerja, dia merasa mengantuk bersamaan dengan berkurangnya sakit dibagian ulu hatinya itu.
🍃🍃🍃

TodayWhere stories live. Discover now