Day twenty-four

6.7K 471 51
                                    

"Kamu hebat, Dek!".

Ben bukan sedang memuji, lelaki itu benar-benar mengatakannya dengan sangat tulus.

Adiknya hebat, setidaknya itu yang akan dia tulis dalam ingatannya yang akan datang.

Dewa berhasil melewati semua kesakitannya, setelah sepuluh hari dia berjuang menahan sakit ventilator, kini alat itu bisa dilepaskan, mengingat pernafasannya berangsur pulih dan bisa menggunakan masker oksigen.

Dewa tersenyum, mungkin ini senyum pertama Dewa. Tadi, rasa perih dan sakit ketika ventilator dilepaskan, serta batuk dan tersedak dahak sendiri benar-benar menyakitkannya, sehingga rasanya malas untuk tersenyum.

"Papa bangga sama kamu". Kini William yang mengelus kepala Dewa pelan, tersenyum senang menatap anaknya sayang.

"Ma.. Ka.. Sih.. Pa" Ujar Dewa terbata, sedikit tidak terdengar, tapi siapapun bisa membaca gerakan bibirnya.

William mengangguk, dia membenarkan selimut anak itu. "Sekarang, kamu tidur. Papa jagain, ya?"

Ben menyeka airmatanya, melihat Papa dan adiknya menambah keharuan hatinya selain karena sang adik bisa melewati saat terberatnya.
🌿🌿🌿

"Abang mana?" Dewa kembali bertanya pada Papanya entah keberapa kali, mungkin dia lupa akan jawaban sang  papa sebelumnya, atau mungkin dia ingin memastikannya lagi.

William tidak langsung menjawab, dia menyimpan laptop tempat pekerjaannya dikelola, lalu memandang anaknya sesaat, "Lagi jumatan, sebentar lagi pulang. Kenapa?".

"Papa, Dewa mau jumatan" Pinta Dewa pada Papanya.

"Kan kamu lagi sakit, kalau udah mendingan. Nanti baru boleh jumatan lagi".

"Anak cowok harus jumatan di mesjid, Dewa kan harus jumatan juga. Kalau gak ikut, Dewa takut Dosa".

William tersenyum, keterbatasannya tidak mengetahui tentang hukum agama islam membuatnya bingung menjelaskan, entah mengapa belakangan Dewa selalu menginginkan hal yang berbau agama. Seperti wudu ke kamar mandi, solat sambil berdiri, dan sekarang jumatan ke mesjid.

Dia ingin mengatakan, "Tuhan pasti ngerti bahwa Dewa lagi sakit, tapikan kata Dewa tadi itu kewajiban. Dia jadi bingung sendiri menjawabny.a. "Kenapa Dewa gak jumatan di sini aja?".

Dewa tidak menyahut lagi, jawabannya akan panjang jika dia menjawabnya seorang diri. Menanyakan kemana abangnya saja, sudah membuat dia ngosngosan, apalagi menjelaskan tentang hukum jumatan.
🌿🌿🌿

Lea adalah orang kelima yang menjenguknya hari ini, tadi Bian datang saat dirinya sedang tidur, lalu Raka datang kemudian, Lalice yang baru pulang buat daftar sekolah di indonesia datang saat dia baru bangun, lalu om Dodi yang membawakannya buah, dan kali ini Lea.

Gadis itu tadinya terancam tidak bisa masuk ke ruangan Dewa, karena Gema bilang Dewa butuh istirahat.

Dewa tersenyum dibalik maskernya, "Hai". Sapanya sangat pelan.

Lea balas tersenyum, duduk di sisi ranjang Dewa dan menggenggam tangannya "Aku gak telat, kan?".

Dewa menggeleng, dia ingin membiarkan gadis itu berbicara sekarang, tenaganya terkuras entah untuk apa, jadi dia hanya ingin mendengar suara manis Lea.

"Aku denger semuanya dari Bian, dia bilang kamu lagi berjuang lagi. Aku mau langsung ke sini, tapi kerjaan ama kuliah aku gak bisa ditinggal".

"Wa, kamu tahukan? Aku nunggu kamu ke rumah, seperti janji kamu pas kita SMA?".

"Berjuang terus, Wa".

Dewa menelan ludahnya sendiri, dia takut untuk berjanji lagi. Dia. Menyesal pernah berjanji pada Lea dulu, "Maaf" Dia menjawab dengan suara serak dan bergetar, bukan maksudnya bersuara sedemikian rupa, sepertinya kerongkongannya sudah lelah bersuara.

TodayWhere stories live. Discover now