Day seventeen

6.1K 474 44
                                    

Dewa menatap jendela disisi ranjangnya, merasakan angin yang masuk ke celah teralis yang terpasang. Dia dirawat di lantai tiga, dimana dari tempatnya dia bisa melihat keramaian taman rumah sakit.

Dia belum mau bangun, padahal sudah jam satu siang, tapi Dewa memilih berbaring tidak melakukan apapun.

Hal ini karena rasa pusing yang mendera jika dia bangkit atau bangun, belum lagi rasa lemas yang seolah menahannya di sisi ranjang.

Ketukan pelan membuat Dewa sedikit menggerakkan lehernya ke arah pintu, sangat pelan karena takut merasa pusing lagi.

Ketika pintu terbuka, sosok Bian masuk dan diikuti oleh suster pria, Difa.

Bian duduk di sisi ranjang, sedangkan suster itu menepuk pundak Dewa pelan. "Entar setengah jam lagi pemeriksaan buat khemo besok, ya?" Ujarnya pelan.

Dewa berdehem sebagai ganti jawaban iya, matanya menatap Bian yang memainkan gadgetnya asik. "Lu ngapain kesini?".

Bian mengantungi HPnya, menggaruk belakang kepalanya pelan, "Mau aja main, emang gak boleh?".

"Boleh, tapi kalo dengan tangan kosong kan aneh. Kalo ngejenguk orang sakit tuh, bawa buah kek, apa kek".

"Iya itu kalo orang yang sakit, kalo kunyuk kayak lo yang sakit mah, gak perlu kali" Jawab Bian cuek.

Dewa memutar matanya males, "Bangke", Dewa memejamkan matanya sesaat, "Gue mau pemeriksaan soalnya, nanti lo mau gue tinggal disini?".

"Tenang, ada adek kelas gue di sanggar Taekwondo lagi sakit, gue mau jenguk lah bentaran, selama lo di periksa dokter. Anak-anak taekwondo juga, bentar lagi nyampe kok" Jelasnya.

"Kirain murni mau jenguk gue, bangke!".

Bian tertawa, itu memang sudah niatnya sejak keluar dari apartment. Tadinya, dia akan menjenguk adik kelasnya itu, tapi kemudian memutuskan datang lebih awal untuk melihat keadaan sahabatnya yang tengah ngedrop ini.

Ada rasa menyesal melihat keadaan Dewa sekarang. Mata jernih lelaki ini, sudah berganti dengan mata sayu dan lingkar mata yang cukup tebal. Dewa pun jauh lebih kurus dari sebelumnya, baju pasiennya tentu tidak bisa menutupi tubuh kurus Dewa, belum lagi selang yang tercetak di dada Dewa, itu semua menyakiti Bian.

Rasa menyesal itu datang, ketika dia mengetahui kanker Dewa menyebar lebih parah ke paru-parunya. Dan Bian tentu ingat, sebelum kembali terserang Dewa ada ketika Bian merokok, bahkan menjadi kawan mabuknya.

Dia tidak tahu, bahwa semua akan kembali seperti semula, Dewa kembali sakit dan itu membuatnya sangat menyesal.

"Elu jangan tidur, Wa". Ujarnya tiba-tiba.

"Kalau ngantuk mah gue tidur, Yan. Lo balik gih, dari pada ganggu gue". Dewa tetap memejamkan matanya.
Bian menghela nafas pelan, mengusir rasa sesak yang tadi bersarang dihatinya. "Kan elu mau pemeriksaan".

"Nanti Bang Difa bangunin gue ini, sana ahh! Katanya mau jenguk temen lo".

"Lo juga temen gue, Wa".

"Iya, tapi elu mah kacung gue".

Bian membuang pandangan kemana saja, "Males".
🌿🌿🌿

Gema menatap hasil pemeriksaannya, dia kemudian mengarahkan pandangan ke arah Ben yang menunggu hasil pemeriksaan itu.

Kemarin, keadaan Dewa tidak baik. Dia berharap, Dewa membaik agar bisa menjalankan Khemo yang dijadwalkan malam ini.

"Trombosit dia masih dibawah 100, leukosit dia juga rendah. Kita gak bisa ngasih dia khemo, kecuali".

TodayWhere stories live. Discover now