Day nine

7.1K 516 20
                                    

Dewa menggeliat dari tidurnya, dia meraba keningnya yang terasa pening. Perasaan berat di perutnya membuat dia berbalik lalu menatap orang yang menindihnya dengan tangan besar itu.

Kening yang menempel di pundaknya, membuat dia tahu kalau abangnya masih sakit.

Dengan pelan Dewa bangun, menyingkirkan tangan sang abang dengan hati-hati.

Dia melihat jam di atas meja belajarnya, pukul tiga sore. Keduanya sudah melewatkan waktu dzuhur dan makan siang ternyata.

Dewa berjalan menuju dapur, melihat penanak nasi memastikan masih ada nasi disana. Setelah melihat bahwa nasi masih tersisa setengahnya.

Dia sedikit berfikir keras, apa yang bisa dia masak. Kalau masak mie rebus, dia bisa. Tapi belum juga makan, pasti abangnya marah-marah gak jelas.

Dewa membuka kulkas, mengedarkan matanya melihat sayuran yg mungkin bisa dia masak.
Ada sebuah Tupperware yang menarik matanya, di dalamnya ada potongan ayam berbumbu, dia ingat tadi pagi dia makan ayam goreng, masa iya sore ini makan ini lagi, tapi gak apa-apalah, daripada gak makan.

Setelah berperang dengan percikan minyak, dan daging yang lengket di wajan, Dewa mengangkat dagingnya yang masih penuh dengan minyak.

Dia cuek saja, meski masakan itu terancam di cekal Ben, karena mengandung banyak minyak.

Tapi dia ingat, Ben selalu menaruh tissue di bawah masakan yang di goreng, jadi dia mengikutinya.

Setelah sholat ashar, dia membangunkan sang abang. Lalu mengajaknya makan.

Dengan mulut terbuka, Ben menatap masakan Dewa di atas meja.

"Makan apaan gue, dagingnya udah tinggal dikit. Kucing si Mino juga gak mau makan, ini mah".

Dengan pelan Dewa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Abang gak menghargai banget, adeknya masak".

"Iya kalo masaknya bener, gue berterimakasih. Tapi ini? Haduh, lo ngabisin ayam bikinan Umi dengan percuma".

"Iya udah, bersyukur aja kenapa sih bang?"

Meski dengan misuh-misuh, Ben tetap duduk di meja makan, menuangkan nasi lalu mengambil salah satu ayam, "Lo pake wajan yang mana,sih?".

"Tuhh" Tunjuk Dewa pada wajan diatas kompor, tangannya sendiri mengikuti abangnya mengambil nasi dan ayam.

Ben menepuk keningnya keras, "Pantes dagingnya abis, lo masak pake wajan buat numis. Ogeb!".
☀☀☀

Lea melambaikan tangannya dari depan pintu cafe, lalu dia memesan mojito yang menjadi favoritenya, Dewa menatap gadis itu, gadis dengan sweeter pink baby dan jeans lalu membawa tas kecil serta bagpaper.

"Lama nunggu? Maaf, tadi nyari taksinya lama" Ujar gadis itu sambil duduk di depan Dewa. "Ini, Happy birthday Dewa".

Dewa tersenyum lebar, membuka hadiahnya. "Be A Man?". Sebuah buku dengan judul Be A Man yang belum dibuka plastiknya.

Gadis itu terkikik ringan, "Iya, abis kata Bang Ben kamu belakangan jadi manja".

Dewa mendengus kesal, "Haha, si abang ember, ya?" ujarnya dengan nada lempeng.

Lea menatap Dewa dengan tatapan lembutnya, "Kamu kalo mau aku temenin khemo, aku mau kok gak cuti kuliah".

Wajah Dewa berubah menjadi kaget, dia tentu mengerti maksud Lea, tapi dia tidak mau jika keadaannya membuat Lea harus meninggalkan bangku kuliah, walau sebentar. "Gak usah, Ya".

"Aku beneran gak papa, kok".

"Denger kamu pulang buat ultah aku aja, aku udah gak enak. Apalagi kamu kalo cuti".

TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang