Cancer

5K 297 45
                                    

Play the Video please!

Apa yang Dia rasakan?, dihari pertama Tuhan memberinya teman dalam tubuhnya, monster yang siap memakannnya, dan chapter baru dalam hidupnya.

Dewa menatap kertas yang diberikan abangnya, menatap seolah dia tidak percaya apa yang dia lihat, abangnya mungkin sedang mengerjainya, tapi ini benar-benar tidak lucu.

Ben berdehem, tapi Dewa tidak peduli. Dia hanya ingin melenyapkan hasil dan kenyataannya yang tersaji disana.

"Wa, ini masih bisa di sembuhin".

Tidak, Dewa tidak peduli dengan perkataan sang abang.

Rasa takut menjalar dari hati ke otaknya, lalu merajai semua organ didalam tubuhnya.
Parunya pun bereaksi, perih disana bersamaan dengan sesak yang menyiksanya. Air matanya menyeruak turun, namun dia mati-matian menahannya.

Jantungnya ikut bereaksi. Kerjanya menjadi dua kali lipat dari biasanya.

Dewa menghembuskan nafasnya keras, membuat sungai kecil yang berasal dari matanya mengalir jatuh.

Suaranya bergetar, tangisnya mengencang.

Ben segera menghampiri sang adik, mencoba memeluk tubuh Dewa, tapi anak itu menolak, meronta keluar dari kukungan sang abang lalu berdiri dengan kaki yang mulai goyah.
Dengan langkah cepat dia menuju kamarnya, membanting pintu dan menguncinya.

Dia menangis keras, menjerit dengan segala tenaga yang ada.

Tubuhnya meluruh di kaki ranjangnya, dengan tangan yang mencoba meraih atas ranjang.

Dengan tangan terkepal, dia menarik selimut beserta seprei yang tadi dia tata.

Dia berdiri, mengambil dan bantal dan melemparnya ke sembarangan arah, kemudian guling dan segala benda yang dia bisa capai.

Dia kalap, dengan amarah dan teriakan yang entah pada siapa dia tujukan semua itu.

Kakinya melemas, tubuhnya kembali meluruh ke lantai. Dia menyembunyikan kembali wajahnya diantara kedua kaki yang tertekuk.

Dewa menangis tak bersuara, mencoba memikirkan apa yang dia alami hari ini.

Kanker hati stadium tiga.

Penyakit yang mungkin membunuhnya kapanpun itu.

Dewa menutup matanya, membayangkan kematiannya sendiri.

"Apa yang harus gue lakukan?" Tanya entah pada siapa.

Dia terisak, memikirkan itu membuatnya sakit kepala.

Mungkin dia perlu mengganti pertanyaannya sendiri, "Apa yang akan gue lakukan?" Tanya lagi.

Dia mulai berfikir, mencari jawaban yang akan dia lontarkan pada dirinya sendiri.

Dia sadar sekarang, Tuhan itu maha baik. Seperti yang Ustad katakan, Allah tidak akan memberi ujian melebihi batas kemampuan manusia itu sendiri.

Dewa sadar, dia mampu melewatinya.

Jadi yang pertama akan Dewa lakukan adalah, menghadapi sakit, dan melawannya.

Dewa mengusap air matanya, menatap sekeliling kamarnya dan tertunduk. "Udah mah sakit, masa mau jadi depresi juga?".

Kunci pintu yang diputar membuatnya menunggu pintu terbuka, dan disana dia melihat abangnya berdiri disana.

"Wa, apa yang lo takutin?".

Dewa tidak menjawab, dia masih larut dengan kesedihannya.

"Iya, gue ngerti lo masih muda lo baru ultah ke 20, masih banyak cita-cita lo" Ben tidak menunggu jawaban Dewa, dia hanya ingin Dewa mendengarkan dia berbicara.
"Tapi yang lebih takut itu gue, gue lebih dari terbiasa sama lo. Dan gue gak pernah bisa bayangin, sehari aja gak ada lo. Apa lo mau janji ma gue, lo bakal selalu sama gue, dan gue janjiin ada kata sembuh di akhir cerita lo".

Dewa berbalik, dia ingat sekarang. Bukan hanya dirinya yang menumpukan hidup pada seorang Dewa.

Ada Abangnya, abang yang selama dua puluh tahun ini satu-satunya orang yang dia miliki dan sebut sebagai keluarga.

Dia menarik air matanya kembali, lalu tersenyum mengingat janji yang di ucapkan sang abang.

"Makasih Bang, gue janji. Tapi lo juga harus janji ama gue".

Ben mengangguk yakin, "Iya gue janji, jangan nangis lagi dong. Abang lo yang ganteng ini udah beliin lo nasi kebuli nih".

Dewa berdecak, seolah sesak di hatinya sedikit demi sedikit mengurai.

Kali ini, dia ingin egois dan membagi sakitnya pada sang abang. Agar abangnya bisa menepati janjinya, dan dia juga akan mencoba menepati janji.

"Emang boleh?" tanya Dewa.

Ben mengebaskan tangannya di depan wajah Dewa, "Boleh, lah. Kan gue dokter lo".

"Sial banget, dokter gue cem lo".

Ben tidak menyahuti, dia langsung berdiri dan menjulurkan tangannya.

Ketika Dewa membalas ulurannya dia menarik adiknya untuk bangkit.

Dewa tersenyum, menuliskan apa yang akan dia lakukan setelah ini di dalam hatinya.
Membahagiakan abang.

Dia akan berjuang bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga demi sang abang.

Memikirkan sang abang, membuatnya mengingat keluarga yang dia tidak pernah ingin tahu.

Dia akan bertemu sang adik tiri, Lalice. Bagaimanapun caranya, menjadi abang yang baik sama seperti abangnya menjadi abang yang baik tentu saja.

Menerima Papa, menjadi anak yang baik untuk Papa dan membahagiakan orang yang sudah memberinya kehidupan ini.

Dia tersenyum tipis dengan rencananya, dia juga akan bertemu dengan Mama. Mengatakan bahwa dia memaafkan sang mama, dan memulai hidup yang lebih baik.

Semoga dia tidak lupa dengan apa yang akan dia lakukan.

Kanker bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari kisah yang akan dia rangkai.

Dia akan berjuang, dengan Kanker yang dia miliki.

Inspired when I heard this song, jadi kefikiran deh bikin beginian.

Ada yang bilang kangen Dewa hidup juga, kan?

TodayNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ