Day ten

7.6K 543 27
                                    

Hujan belum juga reda diluar sana, menciptakan dingin yang menelusup masuk kedalam kulit Dewa, padahal tubuhnya dibalut jaket bahkan jas Ben yang sengaja ditinggalkan sebelum empunya menangani operasi salah satu pasiennya yang patah tulang rusuk.

Dewa kembali menarik jas Ben sebelum menarik selimut pasiennya, cuaca dingin dan reaksi obat yang bekerja seolah menyiksanya secara bersamaan.

Dewa mulai mengggigil, bibir pucatnya mulai makin kentara dengan getaran di giginya yang menandakan seberapa dinginnya Dewa saat ini.

Suster lelaki bernama Difa segera memberi pertolongan, mengecek kadar obat khemo serta suhu tubuh Dewa, 39,5 derajat.

Dengan suhu setinggi itu dia langsung menghubungi dokter Gema yang datang sekitar beberapa menit kemudian, "Turunkan laju obat, berikan dia injeksi parasetamol. Dosisnya yg rendah aja, kamu siapin ranjang" Gema segera mundur ketika Difa menurunkan Ranjang Dewa "Pasangin canula juga". Perintah Gema yang kini melakukan pemeriksaan detak jantung dan kondisi Dewa.

Difa menyelesaikan pekerjaannya setelah memasang infus di tangan Dewa yang lain, di sebentar melirik Gema yang sedang mengelap keringatnya pelan lalu bertanya pelan, "Kita kasih tau dokter Ben sekarang?"

"Jangan dulu, biar dia konsen sama operasinya".

Suster itu mengangguk, lalu menyelimuti Dewa.
☀☀☀

Kadang, Dewa merasa takut akan kematian. Hal yang menjadi alasan dia cenderung melupakan penyakitnya, dan menganggap itu seperti sakit yang akan sembuh keesokan harinya, adalah dia sangat ketakutan akan kematian.

Dia mungkin menjadi begitu manja karena takut, takut bahwa dia akan meninggakan dunia ini.

Seringkali dia bahkan sampai lupa bersedih, namun saat rasa takut itu datang, dia menangis.

Bukan tangisan dalam diam, tapi tangis yang dia sembunyikan dibalik bantal putihnya.

Ben menyadari tangis sang adik, dia bisa melihat getaran ditubuh Dewa, dan bisa mendengar isak tangis anak itu.

Dia hanya membiarkan anak itu menangis, mengeluarkan sesak didadanya, berharap dengan begitu Dewa akan ceria kembali.

Ben telah menemani anak itu seharian ini, setelah operasi patah tulang pasiennya, dilanjutkan dengan mendengarkan ocehan Dewa, kini dia terdiam di sisi ranjang, menunggu adiknya selesai dengan acara menangis.

"Udah dong, Wa. Kan tadi kata Gema kalo khemo combine lo berhasil, lo bisa operasi. Jangan takut". Akhirnya Ben sedikit bergerak, menepuk pundak bergetar Dewa.

Dewa tak langsung menjawab, justru setelah mendengar operasi dia menjadi begitu ketakutan.

Nyatanya, dia harus rela perutnya dibedah, bukan hanya dirinya, tapi perut sang abang juga. Sebagian hati abangnya akan di transplan ke dalam tubuhnya untuk menggantikan hatinya yang dinyatakan rusak total.

"Abang gak tau gimana rasanya?".

"Iya lo bilang dong ma gue, biar gue ngerti. Bukannya nangis cem perawan putus cinta. Udah dari tadi melow mulu". Gerutu Ben.

Ben hanya tidak mengerti tentang mood swing sang adik, padahal setelah kambuh saat khemo dia sendiri yang mau mendengar penjelasan Gema tentang keadaan dirinya, tapi setelahnya adiknya malah menjadi lebih pendiam lalu menangis seperti sekarang.

"Coba, ceritain ama abang".

"Gue takut" Ujar Dewa pelan.

Ben membisu, dia tidak tahu bahwa Dewa bisa sebegitu ketakutannya. Dia ingat saat memberitahu anak itu soal kanker yang tumbuh di hati Dewa. Anak itu tersenyum kecil, lalu berkata pelan kalo dia senang ternyata tuhan masih menyayangi dia.

TodayWhere stories live. Discover now