Bagian 1: Klub Jurik

13.2K 1.1K 152
                                    

Pada masa orientasi siswa, aku pernah menerima brosur tentang Klub Jurik dari seorang senior yang rambutnya mirip jambul burung kakaktua. Aku lupa isinya. Aku juga tak tahu kertas itu ada di mana. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat ibuku menumpuknya beserta kertas-kertas bekas untuk diberikan pada Mbok Darmi, pemilik warteg di sebelah kontrakan. Paling-paling brosur itu sudah jadi bungkus gorengan.

Seingatku si jambul kakaktua itu bilang bahwa "Jurik" adalah nama keren dari klub Jurnalistik. Aku pun bingung. Kok ada orang waras yang menganggap jurik itu keren. Lalu aku mendengar dari teman sekelasku bahwa setidaknya ada tiga rumor tentang penamaan konyol itu. [*]

[*jurik: hantu/setan/pengganggu]

Pertama, istilah "Klub Jurik" muncul karena ruangan klub Jurnalistik berhantu. Jadi selain makhluk kasar sebangsa manusia dan cecak, ruangan tersebut juga dihuni makhluk halus. Kedua, para senior klub itu menyeramkan seperti anak setan. Pasti siapa pun yang pertama menyebar gosip itu bukan manusia. Hanya anak setan yang tahu wujud anak setan lainnya.

Ketiga, "Jurik" adalah sindiran. Di klub jurnalistik banyak anggota gaib, alias anggota yang hanya numpang nama tapi tak pernah nampang saat disuruh kerja. Kudengar klub Jurnalistik adalah klub dengan jumlah anggota gaib tertinggi di SMA Negeri 1 Petanjungan. Kalau anggota gaib disamakan dengan hantu, maka tak heran jika klub jurnalistik dijuluki begitu.

Aku tak yakin gosip-gosip itu muncul karena kenyataannya memang begitu, atau orang-orang di sini hanya malas mengucapkan kata jurnalistik. Dua dari ketiganya terdengar omong kosong, sedangkan kebenaran gosip ketiga juga agak meragukan. Meski begitu, klub Jurik punya prospek bagus. Kegiatannya tampak paling santai di antara klub-klub lainnya, dan kalau rumor ketiga benar, aku bahkan tak perlu mengikuti kegiatannya.

Kalau boleh memilih, aku lebih suka tak mendaftar kegiatan ekskul apapun seperti ketika masih SD dan SMP. Sebagai seorang PSK (baca: Pelajar Solo Karier), prinsipku adalah talk less do less. Sedikit bicara, sedikit bertindak. Lantas kenapa aku repot-repot mencari tahu tentang ekskul sekarang? Ini semua gara-gara sebuah peraturan menyebalkan:

"Seluruh siswa SMA Negeri 1 Petanjungan wajib mengikuti sekurang-kurangnya satu kegiatan ekstrakurikuler. Pelanggaran atas peraturan ini akan dikenai sanksi berupa penundaan kenaikan kelas selama satu tahun ajaran."

Aku tak paham mengapa sekolah ini begitu terobsesi dengan ekskul. Tapi yang namanya aturan buatan manusia pasti ada celahnya. Bapakku pernah bilang, "Peraturan dibuat untuk diakali. Makanya, Grey, jadilah pengacara biar banyak duitnya." Oleh karena itu, aku pun memutuskan—bukan untuk menjadi pengacara, tetapi untuk mengakali peraturan kampret di atas. Setelah membulatkan tekad dan membaca basmalah, aku pun memilih masuk klub Jurik demi menjadi anggota gaib.

Menjadi anggota gaib ternyata tak ada bedanya dengan tak ikut ekskul apa-apa. Awalnya aku cuma menandatangani daftar hadir terus pulang. Lama-lama aku bahkan tak perlu tanda tangan sama sekali. Red—teman sebangkuku yang juga anggota klub Jurik—kusuruh mengisi daftar hadirku. Berbeda dengan presensi kelas, tak ada yang mengawasi presensi ekskul. Inikah yang disebut TA? Ternyata ikut ekskul ada gunanya juga. Setidaknya aku telah menguasai salah satu soft skill penting sebelum masuk perguruan tinggi. [*]

Sekitar dua bulan setelah menjadi anggota gaib, aku dipanggil ke ruang guru.

[*TA: titip absen]

***



Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now