Bagian 42: Deklarasi

2.2K 531 143
                                    

"Dari pengalaman tahun lalu, aku belajar bahwa serangan frontal enggak cocok buat kita. Kita perlu menyerang Tomcat diam-diam. Pertama, aku perlu relawan buat menyusup ke tempat-tempat hiburan yang sering mereka datangi. Rayu anggota mereka, buat mereka lengah, lalu cari informasi sebanyak-banyaknya. Yang lain awasi tim penyusup. Kalau ada apa-apa, bantu tim penyusup mengatasi masalah. Target pertama kita adalah memisahkan Mo-limo satu sama lain. Tergantung situasinya, kita bisa menaklukkan mereka satu per satu atau menyerang langsung."

....

Aku selesai memperlihatkan hasil 'tangkapan'-ku tadi malam pada Roy di rumahnya.

"Kenapa Feli kembali ke Pink Blazer?" tanya pria berkulit gelap itu usai melihat rekamanku.

"Siapa peduli?" ucapku. "Om butuh info tentang siswa yang terlibat geng, dan aku sudah memberikannya. Sekarang aku mau menagih janji."

"Pfft, hahaha! Kau memang selalu mengejutkanku, Grey. Baiklah, apa maumu? Berhenti dari klub Jurik dan tetap naik kelas?"

"Apa yang akan kaulakukan pada Kak Feli setelah ini?"

"Mengeluarkannya, tentunya. Dia sudah melanggar janjinya untuk tidak bergabung dengan geng itu lagi."

"Kalau begitu, aku minta kau menangguhkannya. Kak Feli bisa jadi umpan yang berharga untuk menarik ikan-ikan besar keluar dari sarangnya. Aku akan bilang padamu saat dia tak lagi berguna."

Roy mengernyitkan dahi. "Cuma itu permintaanmu?"

"Sebentar." Kukeluarkan kartu yang Roy berikan padaku kemarin. "Apa fungsi benda ini?"

"Oh, itu? Aku belum menjelaskannya ya? Itu kartu kerjaku. Orang bakal tahu kau adalah utusanku kalau kau memperlihatkannya."

Kartu kerja?

"Kupikir kau bakal kesulitan mencari informasi ke tempat-tempat yang tak memperbolehkan anak di bawah umur masuk. Tapi sepertinya aku salah."

Saat Roy mencoba mengambil kartu itu dari tanganku, aku mengelak.

"Aku mau terus bekerja untuk Om, tapi aku butuh kerjasama Om untuk mengelabui Ibu dan kepala sekolah. Aku malas kalau berkali-kali harus menjelaskan ke mana aku pergi dan diomeli."

"Cukup adil," tuturnya. "Tapi kalau kau terlibat terlalu jauh, atau ada bukti kuat yang bisa merugikanmu, aku mungkin tak bisa menutupinya. Kalau perlu siapkan kambing hitam buat jaga-jaga."

Kami pun sepakat. Sebelum aku pergi, aku bertanya, "Ngomong-ngomong, Om tahu Mr. I?"

"Mr. I? Siapa?"

"Cuma rumor yang kudapat dari teman sekelasku."

Roy tertawa lagi. "Maaf, aku tak pernah mengikuti gosip anak sekolah."

Ia lalu menawariku memboncengnya ke sekolah. Namun, aku menolaknya dan memilih untuk jalan kaki.

Sesampainya di sekolah, aku penasaran sejauh mana gosip itu tersebar. Perlakuan teman sekelasku padaku masih sama seperti dua hari sebelumnya. Aku tetap dikucilkan. Sindiran dan ejekan masih tetap terdengar meski tak sekasar dua hari yang lalu. Perubahan paling signifikan ada pada Bondan. Saat istirahat pertama, ia tampak gelisah. Berdasarkan percakapannya dengan teman-temannya, kelihatannya ia cemas dengan keberadaan 'pacar baru' Poppy.

"Siapa sih Mr. I ini?" gerutu Bondan.

"Udahlah enggak usah dipikirin, paling cuma gosip," hibur Iza si jangkung.

"Tapi sebagai fans terbesarnya, aku perlu memastikan apakah Poppy enggak disakiti seseorang lagi," balas Bondan sambil melirik ke arahku.

Aku keluar ruangan sambil membawa tote bag berisi baju olahraga yang Poppy pinjamkan padaku. Red mengikutiku begitu aku berada di koridor menuju kelas X-9.

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now