Bagian 55: Double-Cross

1.9K 499 73
                                    

Rasanya sudah cukup lama aku tak mengunjungi mading Klub Jurik, padahal baru beberapa hari sejak terakhir aku ke sini. Tulisan-tulisan di papan mading sudah dibersihkan, tetapi aku belum merasa lega sama sekali. Lagi pula, mana mungkin aku tak merasa cemas ketika kembali mengunjungi tempat yang hampir membuatku mati.

Red berdiri di hadapanku dengan wajah sedingin ikan di dalam kulkas. Tampaknya cuaca panas tak berpengaruh padanya meski lensa kacamatanya menghitam diterpa sinar matahari.

"Oke, kau duluan," kataku.

"Tidak, kau duluan," balas Red.

Aku menelan ludah.

"Baiklah," ucapku. "Apa kau mengkhianatiku?"

Red meringis. Sepanjang hari baru kulihat senyumannya kali ini.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Sebenarnya aku sudah curiga sejak gosip tentang aku menyerang Poppy dipasang di sini. Banyak yang menempeli mading ini seenaknya, tetapi cuma anggota klub Jurik yang mau repot-repot memasang artikel di tempat sepi ini. Dan setahuku, kau adalah salah satu orang yang bertanggung jawab mengurusi mading."

Red tak bereaksi.

"Tentu aku bisa salah. Mading ini tak punya kunci. Siapa pun bisa mengaksesnya," lanjutku. "Maka kucoba menguji teoriku. Ingat saat aku menyuruhmu menyebar gosip? Aku berbohong bahwa Poppy pernah menembakku, dan asal kau tahu, hanya kau yang kuberi tahu soal itu.

"Kau tahu 'kan sikap orang-orang padaku saat aku digosipkan dengan Poppy waktu itu? Kalau kau memang temanku, kau harusnya merahasiakan hal itu dan tidak menambahkan minyak ke dalam api. Aku cuma memintamu bilang ke orang-orang bahwa Poppy berpacaran dengan Mr. I. Tak lebih. Tapi entah kenapa, rumor bahwa Poppy suka padaku juga beredar bersamaan dengan gosip tentang Mr. I."

Red menyela, "Kalau kau curiga sejak awal, kenapa kau tetap meminta bantuanku?"

"Karena aku ingin percaya padamu."

Red bergeming.

"Kucoba berpikir positif. Bisa saja rahasia itu tak sengaja keluar dari mulutmu. Aku ingin percaya bahwa kau tidak menyebarkannya untuk membuatku makin menderita. Aku ingin percaya bahwa kau bukan pemfitnahku." Aku menghela napas. "Tapi Sabtu kemarin, kau mengabaikan peringatanku. Kau pergi entah ke mana, membiarkan Alin sendirian mencarimu, dan secara ajaib kameranya ada di tangan Kak Rendy. Apa penjelasanmu?"

"Tunggu, kau menuduhku mencuri kamera Alin?"

"Kalau itu memang salah, katakan kalau aku salah!" bentakku. "Kau juga mau bilang sesuatu padaku, 'kan? Katakan ... kalau kau tidak mengkhianatiku."

Ada kalanya aku benci menjadi benar. Ada kalanya intuisi, logika, dan emosiku saling bertentangan seperti sekarang. Lebih mudah menyelesaikan misteri pembunuhan dalam novel saat aku tak punya ikatan emosi yang kuat dengan para tersangka. Mungkin itu sebabnya detektif-detektif fiksi digambarkan berkarakter dingin, cuek, bahkan antisosial. Namun, setidaknya mereka dapat menyelesaikan tugasnya tanpa harus merasa bimbang.

Sementara aku? Aku cuma bisa pura-pura tangguh.

"Mengkhianatimu? Kau yang mengkhianatiku, Grey."

"Huh?"

"Jangan kira aku tak tahu. Kau juga mengincar Alin, 'kan?"

"Apa maksudmu? Sejak awal aku mendukung kalian—"

"Omong kosong!" Suaranya parau. "Minggu lalu, saat Alin dimarahi oleh ayahnya karena pulang larut malam, kau yang memboncengkannya pulang. Besoknya, hari Senin, kau dan Alin pergi berdua ke belakang stadion. Apa perlu kujelaskan semua kencan kalian di belakangku?"

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now