Bagian 45: Devide Et Impera

2K 538 51
                                    

"Bang Dongkrak balik! Bang Dongkrak balik!"

Orang-orang berikat kepala merah berbondong-bondong menuju ke bengkel Dinamo. Aku ikut terbawa arus. Sosok besar berkepala plontos tampak buru-buru memasuki pelataran bengkel. Entah kenapa, Deni Dongkrak berada di desa Balongan dan bukan di penjara.

Dari kejauhan, aku tak tahu yang Deni Dongkrak ucapkan. Aku hanya tahu ia tengah membentak-bentak orang-orang berikat kepala merah di depannya, lalu dibalas dengan seruan, "Betul!", "Merdeka!", "Setuju!" yang menjalar sampai kerumunan di depanku—entah apa hubungannya. Tak lama kemudian, Deni pergi meninggalkan bengkel. Kuikuti pria itu sampai ia masuk ke salah satu bar di dekat jalan raya.

"Mana KTP?" tanya seorang penjaga pintu bar saat aku hendak masuk.

Aku cuma punya kartu pelajar, kartu ATM, dan kartu aneh yang Roy berikan padaku. Kata Roy kartunya bisa kupakai untuk memasuki tempat orang dewasa. Apa salahnya dicoba.

Sang penjaga pintu mengamati kartu yang kuberikan dengan tampang serius. Ia melihatku, melihat kartu, lalu melihatku lagi. Ia kemudian memanggil rekannya dan berdiskusi sampai entah berapa menit sudah berlalu. Setelah itu, ia kembali menyerahkannya padaku dan mempersilakanku masuk.

Mantap juga ini kartu. Aku jadi makin penasaran dengan pekerjaan 'sampingan' Roy dan kenapa dia begitu enteng memberikannya padaku. Gita bilang Phantom Club tidak punya kartu anggota, tapi kalau bukan itu, lalu apa makna P.C. di kartu ini?

Apa pun itu, aku berhasil masuk ke bar untuk pertama kalinya. Meski letaknya di pinggir kota, pengunjungnya cukup banyak juga. Kuhampiri Deni yang tampak menyendiri di depan bartender—bagian paling ujung meja. Wajahnya penuh dengan luka lebam yang masih baru. Satu gelas besar minuman berbusa tersedia di hadapannya. Mungkin itu bir, atau cuma teh bersoda. Jangan tanya aku.

"Mau pesan apa, Mas?" tanya si bartender.

"Susu, tanpa dicampur," kataku. Itu satu-satunya minuman tak beralkohol di daftar menu.

Deni menoleh padaku. Matanya langsung terbelalak. "Kok kau bisa di sini?"

"Kebetulan. Saya juga mau tanya begitu ke Om."

"Astaga." Deni mengurut-urut kepalanya. "Aku sudah cukup banyak terkejut hari ini."

Aku tersenyum. "Saya cuma habis main dari rumah Azka. Saya juga tak menyangka bisa bertemu Om di sini. Mungkin ini takdir?"

"Nak, biar kukasih tahu. Takdir untuk orang yang terlalu banyak berurusan dengan warga sini, kalau tidak dipenjara, ya mati."

"Semua orang mati pada akhirnya."

Deni menenggak minumannya. Aku bisa berfilsafat tentang takdir sampai malam dengan pria ini, tetapi bukan itu alasanku kemari.

"Bagaimana Om bisa keluar?"

"Kenapa aku harus ngasih tahu anak ingusan sepertimu?"

"Mungkin karena anak ingusan ini kebetulan anggota klub Jurnalistik Smansa, dan kebetulan dua anggota kami yang tewas dalam setahun terakhir berasal dari desa ini. Kabar yang beredar semuanya memojokkan Om, tapi tidak ada yang bercerita dari sudut pandang Om sendiri."

"Jadi kau mau berlagak jadi wartawan, huh? Walaupun aku sudah keluar, aku masih tersangka, tahu? Sekali tonjok, tubuh kerempengmu itu bisa langsung remuk. Apa kau tidak takut, Nak?"

"Saya tahu Om tidak bersalah. Kalau Om mau bercerita, saya—tidak, klub Jurnalistik bakal memberi tahu kebenarannya pada orang-orang."

Deni menghela napas. "Itu juga yang dulu Ratna katakan. Kau tahu 'kan bagaimana akhirnya?"

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now