Bagian 56: Sharper Than Sword

2K 510 42
                                    

Alin menunggu kami di ruang klub sendirian. Dia tampak baik. Rambutnya tak lagi berantakan. Kedua sisinya dikepang rapi dan sisanya ia biarkan tergerai ke belakang. Mukanya juga sudah tak terlihat seperti orang mati. Rendy bilang tatapannya bisa menendang cowok ke alam mimpi. Kalau itu benar, berarti aku sudah masuk mimpi buruk berkali-kali.

Meski kuakui, aku sungguh lega bisa melihatnya lagi.

Alin langsung menyemprot Red begitu tahu kameranya ada di tangan cowok itu. Red balas meminta penjelasan tentang semua kegiatan yang Alin dan aku lakukan. Dibantu olehku, Alin bercerita sejak ia merekam kejadian di Pondok Kamboja dan mampir ke rumahku, sampai foto memalukan kami di belakang stadion.

"Jadi kamu yang menjebak Grey buat tutup mulut?" tanya Red. "Gila kamu, Lin!"

"D-Diam kamu! Orang yang udah memfitnah Grey enggak pantes ngomong gitu!"

"Kalau kamu bilang sama aku sejak awal, itu semua enggak akan terjadi!"

"Terus? Kamu mencuri kameraku itu salahku juga?"

Red tak membalas. Ia memandangku sebentar, lalu menatap Alin lagi. "Kamu mau ngasih tahu rahasiamu ke Grey, tapi sama aku enggak?"

"Ya enggak lah! Emang kamu bisa jaga rahasia?"

Alin tetap brutal seperti biasa.

"Lagian ... Grey udah banyak kena masalah gara-gara aku," tambahnya sambil melirikku. Ia tampak takut melihat wajahku, tetapi matanya seolah tak bisa memilih antara fokus pada Red atau hanya padaku.

"Oh, gitu?" Red beranjak pergi. "Oke aku paham. Maaf sudah mengganggu waktu kalian berdua."

"Kamu belum paham sama sek—Eca! Aku belum selesai ngom—"

Alin berhenti bicara begitu sadar yang diajak bicara sudah lenyap ditelan tikungan. Alih-alih mengejar keluar, ia hanya mendesah di bibir pintu, lalu menutupnya kembali. Wajahnya menghadapku, tetapi matanya fokus ke arah yang lain.

"Kenapa tidak kauselesaikan kalimatmu?" tanyaku.

Alin tersentak. "Kalimat yang mana?"

"'Grey udah banyak kena masalah gara-gara aku, makanya aku enggak mau kamu kena masalah juga.' Itu 'kan yang ingin kaukatakan?" tanyaku.

"Grey, tolong, jangan bikin posisiku tambah sulit."

Kurasa aku cukup paham kenapa Alin gelisah. Pengalaman mengajarkanku bahwa kata-kata lebih tajam daripada pedang. Sama seperti orang tuaku, Alin hanya ingin merahasiakan informasi sensitif yang ia ketahui. Salah langkah sedikit, orang lain bisa terkena dampaknya—seperti saat Alin mencoba membuatku diam dengan foto itu.

Namun, terkadang diam pun tak cukup membuat orang lain menyerah untuk mencari tahu. Jika kenyataan tak bisa memuaskan rasa penasarannya, orang akan berprasangka, bergosip, dan memercayai hal-hal yang belum terbukti kebenarannya selama itu membuatnya puas. Kebanyakan manusia tidak percaya pada kenyataan yang sesungguhnya. Mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percayai.

Rendy telah membuat Red percaya bahwa aku sudah mengkhianatinya. Meskipun aku dan Alin sudah berterus terang, rasa sakitnya takkan semudah itu hilang. Sekarang Red mungkin menganggapku sebagai saingan cinta terbesarnya.

"Kamu juga enggak ngasih tahu apa-apa tentang rencanamu," ucap Alin.

"Hari Kamis kan aku sudah—"

"Bohong. Itu cuma akal-akalanmu biar aku diam di rumah, 'kan?"

Aku tak menyangkal.

"Aku paham kok," ujarnya lemah. "Aku selalu mengacau pada saat-saat penting. Makanya kamu berbohong biar aku enggak jadi beban. Aku enggak tahu gimana kamu bisa dapat pengakuan dari Kak Jerry. Mungkin itu bukan cara yang bersih, tapi itu cukup memberi Ayah kekuatan untuk melawan preman dan polisi-polisi korup itu lagi. Aku yakin rencanamu bakal berantakan kalau sejak awal aku tahu."

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now