Bagian 24: Occam's Razor

2.2K 534 110
                                    

Sambil menunggu Gita selesai buang air kecil, aku dan Karina berdiri di depan toilet cewek. Tak ada orang lain di sepanjang koridor. Selain kami berdua, hanya ada tong sampah di sebelahku.

Sesekali pandangan kami bertemu. Namun, aku tak bisa bicara walau sekadar menyapa. Rasanya lidahku kelu. Tak kusangka berdua dengan cewek bisa jadi secanggung ini.

Untuk kesekian kalinya, mata kami berjumpa.

"Cold Knocker, pffft!"

Karina tertawa sambil menutup mulutnya.

Aku berpaling. "Tolong lupakan."

Aku tak sanggup melihat wajahnya. Sial. Kejadian di kafe kemarin kembali terbersit di ingatanku. Kenapa aku harus bilang kata-kata itu coba? Kadang mulutku mengatakan hal yang kemudian kusesali.

Aku memandang jauh keluar koridor, membuang jauh-jauh ingatanku semalam. Aku jadi berpikir. Kenapa sekolah ini hanya punya ruang ganti untuk cewek ya? Tidak adil. Mentang-mentang cowok bisa ganti di mana saja. Lagian, kalau cewek boleh lihat cowok ganti baju, masa sebaliknya tidak boleh?

"Anu, Grey?" panggil Karina.

"Hmm?"

"Kata kamu, siapa yang menjahili Alin?"

"Entahlah. Tak ada yang alibinya sempurna. Bisa saja dua atau tiga orang bersekongkol, atau malah semuanya bersekongkol—ah, maaf, bukan berarti aku mencurigaimu."

Gadis berjilbab itu tersenyum manis. "Enggak apa-apa kok. Tapi aku nggak setuju sama Kak Sinta. Alin kadang emang terlalu jujur, tapi dia bukan orang yang melakukan itu cuma buat dapat perhatian."

"Kau kenal Alin?"

"Enggak deket sih, tapi kami pernah sekamar waktu ikut OSN Fisika SMP. Pas seleksi OSN Fisika SMA juga sering bareng."

Ah, ya, aku sering mendengarnya. SMA Negeri 1 Petanjungan adalah magnet bagi para siswa berspesifikasi tinggi di seluruh penjuru kota. Selain terkenal dengan cewek-ceweknya yang cantik, Smansa juga terkenal dengan siswa-siswinya yang cerdas. Kurasa cewek di sebelahku setipe dengan Alin. Cantik dan cerdas.

"Aku salut deh sama Alin," tukas Karina. "Seandainya aku bisa jadi pemberani seperti dia."

Jangan. Kumohon. Satu Alin saja sudah cukup.

"Grey ikut seleksi OSN juga?"

"Tidak," kataku. "Lagi pula aku bodoh."

Karina memicingkan matanya seolah menebak-nebak kebenaran ucapanku.

"Menurutmu siapa yang menjahili Alin?" tanyaku balik.

"Umm ... kalau menurut prinsip parsimoni sih, Lilis yang paling mungkin jadi pelakunya."

"Parsi—apa?"

"Principle of parsimony," terang Karina. "Bisa juga disebut Occam's Razor. Intinya, bila kita dihadapkan pada suatu masalah, solusi yang paling simpel biasanya adalah yang paling tepat. Jadi kalau kita punya lebih dari satu penjelasan, ambillah penjelasan yang memiliki paling sedikit asumsi. Nah, kenapa aku bilang Lilis paling mungkin? Pertama, kita tahu Lilis anak yang bermasalah. Kedua, sebelum ini Lilis sering menjahili Alin. Ketiga, dia enggak punya alibi. Dan itu fakta. Sesuai dengan prinsip parsimoni, menuduh Lilis sebagai pelaku pembobolan loker Alin adalah solusi yang lebih simpel daripada, misalnya, Alin sengaja melakukannya untuk mencari perhatian. Hipotesis 'Lilis adalah pelakunya' didukung fakta, sedangkan hipotesis 'Alin hanya pura-pura' cuma berdasarkan asumsi."

Aku manggut-manggut.

"Tapi solusi yang paling simpel belum tentu paling benar," lanjutnya dengan antusias. "Contohnya teori gravitasi. Teorinya Newton lebih simpel daripada teorinya Einstein, tapi nyatanya, teori Einstein lebih akurat dan dapat lebih banyak menjelaskan fenomena daripada teorinya Newton—ah, a-anu, omonganku bikin bosen ya?"

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now