Bagian 23: Loker Nomor 26

2.2K 539 87
                                    

"Oh, maksudmu ini?" Ivan menunjuk koper di sebelahnya. "Tadi aku cuma membawakan kostum pesanan klub Drama. Kau tahu sendiri, 'kan? Keluargaku punya bisnis konveksi dan peminjaman kostum," tukasnya. "Padahal aku sudah membawakannya kemarin, tapi katanya ada yang kurang."

Red menggeledah isi koper tersebut. Sesuai ucapan Ivan, isinya hanya baju dan aksesoris pertunjukan. Aku pun mengambil salah satu kostum jubah hitam.

"Eh, hati-hati! Nanti—"

Sreet!

Saat kutarik, lengan bajunya sobek.

"Tuh, kan! Kubilang hati-hati!" bentak Ivan sambil mengusirku dari kopernya.

"Kertas?" tanyaku bingung.

"Memangnya kenapa? Ini karya terbaruku. Kostum dari kertas daur ulang! Ada masalah?"

"Tidak, uh, maaf."

"Maaf! Maaf!" gerutu cowok itu sambil menggaruk-garuk jambulnya. Jambul kakaktuanya kini jadi lebih mirip jengger ayam.

"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Sinta. "Aku nggak punya waktu buat melihat lawakan kalian."

"Baik," kata Red. "Aku mau mengecek alibi kalian. Kak Sinta bisa mulai duluan."

"Fine. Aku masuk ke sini saat anak-anak SH udah di panggung. Aku nggak pernah ketemu Alin. Aku bahkan nggak tahu yang mana lokernya. Aku selalu bareng bertiga sama Nia dan Citra. Mereka bisa memastikan kalau aku nggak pernah mendekati loker siapa pun kecuali lokerku."

Nia dan Citra pun mengiyakan.

"Sama kayak Sinta," ujar Nia. "Saat kami bertiga datang kemari, udah ada anak-anak kelas satu di sini. Selesai ganti pakaian, kami bertiga langsung ke ruang klub Drama. Tanya aja sama cowok-cowok yang jaga ruang klub. Yang jelas, saat kami pergi, anak-anak kelas satu masih di sini. Ya, 'kan, Cit?"

Citra menggangguk. "Alibiku kurang lebih sama kayak mereka berdua."

Jadi Sinta, Nia, dan Citra saling menguatkan alibi masing-masing.

Red berpaling padaku. "Bagaimana menurutmu?"

"Entahlah. Lanjut?"

Red pun menoleh pada cewek-cewek klub Drama tahun pertama.

"Eh, aku?" tanya Poppy dengan polosnya. Properti cangkang siput di punggungnya membuatnya makin mirip anak TK. "Umm ... sehabis nyanyi, aku langsung ke sini. Waktu itu di depan pintu udah ada Gita sama Karina. Terus aku gabung deh sama mereka."

"Kapan 'waktu itu'?" tanya Red.

"Kira-kira jam sembilan lebih sepuluh kali ya? Soalnya nggak lama sesudahnya, Kak Ivan datang bawa kostum. Terus Kak Sinta, Kak Citra, sama Kak Nia datang. Lilis datang terakhiran. Aku ngobrol terus sama Karina dan Gita sampai lupa waktu. Kakak-Kakak kelas udah pergi dan Gita udah selesai dandan, tapi aku malah baru ganti baju. Terus Karina diminta buat bantu dandanin anak-anak cowok di ruang klub. Akhirnya aku ditinggal deh. Hehe ...."

"Grey, ada tambahan?"

Aku tak tahu kenapa Red harus bertanya padaku. Merepotkan.

Aku tertarik pada riasan wajah yang Poppy pakai. Rupanya putih pucat, dan ada bulatan merah di kedua pipinya. Mirip vampir cina.

"Kau merias wajahmu sendiri?" tanyaku pada Poppy.

"Eh, i-iya." Poppy tertunduk. "Aneh ya?"

"Tidak kok." Aku berbohong. "Kau jadi lebih ... imut?"

Poppy menegakkan kepalanya. "Masa sih? Makasih ...."

Senyumannya membuat perutku geli.

Red menyikutku. "Cuk! Malah nggombal. Karina, lanjut!"

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now