Bagian 12: Misteri Dalam Rekaman

2.4K 588 40
                                    

Alin: Grey, kameraku masih di situ?

Alin: Grey, baca! Penting!

Alin: Grey, jawab please!

Alin: Besok balikin! Jangan dibuka-buka!

Alin: UP

Alin: UP

Alin: UP

....

Astaga. Agresif sekali. Alin mengirim lima belas chat dan tiap-tiap chat-nya dikirim dalam rentang waktu kurang dari lima detik. Aku mulai mengerti perasaan Red saat naskahnya dikejar-kejar deadline.

Saya: Y

Alin: Awas ya kalau dibuka-buka!

Saya: Y

Kuletakkan ponselku secara terbalik dan kumatikan getarnya.

Mana mungkin aku tak membukanya. Otak manusia menerjemahkan kata 'jangan' menjadi 'harus'. Semakin dilarang, aku jadi semakin penasaran.

Kuabaikan apapun yang Alin katakan. Kuputar rekaman terakhir di dalam kameranya.

Klik!

Rekaman dimulai. Tampaknya video ini direkam dari sudut sempit di antara dua tumpuk besi berkarat. Cuacanya mendung, tapi belum terlalu gelap. Hujan belum turun. Mungkin waktu pengambilan gambarnya sekitar pukul setengah enam hingga pukul enam sore tadi.

Video ini merekam seorang cowok yang berdiri di depan pintu bangunan berlantai dua yang tak terawat. Jendela-jendelanya pecah. Banyak lumut, tumbuhan paku, dan rerumputan liar di sana sini. Ada banyak tumpukan kayu, besi, seng, batu bata dan pecahan genting di halamannya. Pada dindingnya yang putih kusam banyak gambar dan tulisan grafiti.

Sepertinya cowok itu Mas Diaz. Wajahnya membelakangi kamera. Rambutnya sudah dipotong sehingga tak sepanjang kemarin. Beberapa saat kemudian, datang lima orang laki-laki bertampang sangar. Dua di antaranya pernah kutemui, yakni si pirang dan si kupluk. Tiga orang lainnya ada yang berambut gimbal, ada yang memiliki tompel di pipi kanannya, dan ada yang tubuhnya pendek dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya. Biar gampang, kusebut mereka si gimbal, si tompel, dan si boncel.

Tiba-tiba si pirang menonjok muka Mas Diaz, lalu memukul perutnya. Saat Mas Diaz masih terhuyung-huyung, si gimbal dan si tompel menggenggam erat kedua lengannya. Mereka menyeret Mas Diaz ke dalam bangunan.

Kamera cepat-cepat mengikuti mereka. Fokusnya terguncang-guncang karena langkah kaki buru-buru sang perekam. Selang beberapa detik yang memusingkan, akhirnya gambar kembali stabil. Kini kamera menyorot ke dalam ruangan melalui sela-sela kaca jendela yang pecah.

Si boncel menyalakan api unggun di dalam tong minyak. Bagian dalam bangunan itu jadi lebih terang. Ruangan itu sangat besar untuk ukuran rumah. Kurasa bangunan ini lebih cocok disebut bekas wisma atau panti asuhan. Tak banyak barang di dalam. Hanya ada sebuah sofa yang sudah jebol dan sebuah lukisan usang di tembok yang menghadap kamera. Sepertinya bangunan itu memang sudah lama ditinggalkan. Lantainya kotor penuh debu. Rerumputan liar mencuat di atas keramik yang penuh retakan. Ada dua anak tangga menuju lantai dua di kanan kiri ruangan. Di antara dua anak tangga, ada dua koridor menuju bagian ruangan yang lebih dalam.

Kelima preman itu tampak menyudutkan Mas Diaz di dekat tembok. Mereka menggeledah ransel Mas Diaz, lalu mengambil sebuah benda yang mirip dengan kaset VCD dan beberapa lembar kertas foto.

"Jawab! Kenapa barang-barang ini ada di tasmu?" tanya si pirang sambil mencengkeram kerah baju Mas Diaz.

"S-saya tidak tahu! Saya difitnah!" jawab Mas Diaz. Brewok di wajahnya sudah dicukur bersih.

Seakan tak puas dengan jawabannya, si pirang memukuli perutnya dengan membabi buta.

"Tidak tahu, huh? Kau pikir aku ini goblok?" Si pirang menampar pipi Mas Diaz. "Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?"

"Tapi saya benar-benar tidak tahu!"

"Halah, kon!"

Si pirang dan keempat rekannya silih berganti menganiaya Mas Diaz. Setiap kali Mas Diaz berkata tidak tahu, beberapa pukulan dan tendangan mendarat di muka, dada, perut, lengan, tungkai, dan selangkangan. Mas Diaz pun membungkuk dan bertekuk lutut. Ia tampaknya tak sanggup berdiri lagi.

Si gimbal tampak berdiskusi dengan si pirang, lalu ia mengambil alih sebagai pemimpin penyiksaan.

"Kudengar kau punya adik cewek yang masih SMP," ucap si gimbal sambil menjambak rambut Mas Diaz ke atas. Suaranya begitu serak sehingga membuatnya terdengar seperti kaset rusak. "Kau mungkin tak bisa melihat senyumannya lagi kalau kau tak mau bicara. Paham?"

"J-jangan sakiti Azka!" seru Mas Diaz. Ia tampak ingin menangis. "Tolong, jangan sakiti dia."

"Makanya jawab, Goblok!" maki si pirang. Ia menendang perut Mas Diaz sampai ia bersujud.

Si Gimbal kembali menjambak rambut Mas Diaz. "Siapa yang menyuruhmu, hah? Apa klub konyol dari sekolahmu lagi?"

"B-bukanuhuk, uhuk!" Mas Diaz memuntahkan cairan berwarna merah.

"Terus siapa?!" bentak si pirang.

Mas Diaz terbatuk-batuk lagi.

"Misteri," ucapnya. Sesaat kemudian, ia terjerembab di atas lantai.

"Misteri? Ngomong apa sih? Woy!" Si pirang terus berteriak di depan telinga Mas Diaz, tapi Maz Diaz tetap bergeming.

Si boncel berjongkok dan memeriksa tubuh Mas Diaz.

"Gawat, Bos," ucapnya, "dia mampus."

Sontak si pirang mengumpat sambil membanting botol minuman di tangannya. Sesaat kemudian, tampak kilatan cahaya diikuti bunyi petir yang menggelegar.

"Aaa!" Alin—sang perekam—berteriak. Pekiknya tertahan. Gambar kameranya jadi bergetar-getar.

"Siapa itu?!" seru si pirang ke arah kamera.

Getaran kameranya makin hebat. Sudut pandangnya jadi tidak fokus lagi.

"Penyusup! Kejar!"

Klik!

Rekaman berhenti.

"Sialan," umpatku sambil meletakkan kamera Alin. "Seharusnya aku tahu."

Aku sungguh bodoh. Kalau saja aku segera menuju ke tempat yang Mas Diaz kirimkan, mungkin masih ada kesempatan untuk menyelamatkannya. Kalau saja aku tak mencurigai semua orang, aku pasti akan secepatnya meminta bantuan. Sekarang semuanya sudah terlambat.

Maaf, Mas Diaz. Aku tak bisa menyelamatkanmu kali ini.

"Sialan."

Aku kembali merebahkan diri di atas kasur. Lama-lama mataku semakin berat. Aku pernah baca otak manusia mengonsumsi 20% energi yang dibutuhkan tubuh—lebih banyak daripada organ-organ lainnya. Kalau begitu, kurasa kini otakku telah menghabiskan seluruh sisa tenagaku.

***

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now