Bagian 32: Tengkorak Dalam Gir

2.2K 504 69
                                    

Sehabis dari hutan Kalabendu, aku pulang ke rumah sebentar bersama Alin dan Azka. Kuganti pakaianku dan kuambil tas pinggang berisi pentungan dan pistol air cabai, untuk jaga-jaga. Aku tak mau pergi ke tempat tinggal Azka cuma bermodal nyawa.

Sementara Alin meminjam kamarku untuk mengganti baju, aku dan Azka menunggu di ruang tamu. Kurogoh sakuku. Aku masih menyimpan surat Mr. I yang kupungut dari dalam kaleng berisi hewan-hewan menjijikan tadi pagi. Banyak hal yang terjadi, tapi aku masih penasaran apa itu Gu. Kubuka ponselku untuk mencari tahu.

....

Gu

Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Gu atau jincan adalah racun yang berasal dari kebudayaan China selatan, khususnya Nanyue. Secara tradisional, cara menyiapkan racun gu adalah dengan mengumpulkan beberapa binatang kecil beracun (seperti ular, kalajengking, kelabang) dalam wadah tertutup, sehingga mereka dapat memangsa satu sama lain sampai racun-racun itu terkumpul pada hewan yang tersisa. Gu pernah digunakan dalam praktik ilmu hitam seperti memanipulasi/memelet orang, menciptakan penyakit ganas, dan membunuh orang.

....

"Grey."

Aku berhenti membaca tulisan di layar ponselku saat Alin memanggilku. Ia memakai jaket dan celana training hitam tosca. Alin tak membawa baju ganti, jadi ia meminjam pakaian ibuku-lagi.

"Gimana menurutmu?" tanyanya sambil membungkus kepalanya dengan tudung jaket.

"Kau mirip ibuku."

Alin mendengus. "Maksudmu aku kayak emak-emak?"

"Aku sedang memujimu tahu."

Walaupun usia ibuku hampir kepala empat, dia tetap cantik. Dengan kata lain, saat kubilang seseorang mirip ibuku, seharusnya ia berterima kasih.

"Aku enggak butuh 'pujianmu'," kata Alin sembari mengangkat kedua tangannya. "Maksudku, apa pakaian ini cukup buat penyamaranku? Bisa gawat kalau sampai aku ketemu kenalan Ayah lagi."

"Asal tak ada yang melihat wajahmu, mungkin cukup."

Alin langsung mengambil masker dari tasnya untuk menutupi wajahnya.

"Aku jadi ingat, di mana baju ibuku yang kaupinjam Minggu kemarin?"

"Kita enggak punya banyak waktu. Ayo berangkat," ajak Alin sambil menggenggam lengan Azka. "Jangan sampai Om Isnan sampai duluan."

Tangan Alin tampak gemetar saat mengucapkan nama Isnan. Namun, bukan hanya dia yang cemas dengan gerak-gerik polisi yang kami temui di hutan tadi. Sejak Isnan mengucapkan kata pembersihan, aku tak bisa menyuruh kakiku diam.

Sekitar pukul 12 siang, kami naik angkot dan turun di Stasiun Kota dekat Pasar Wage. Tak ada kendaraan umum yang langsung menuju ke Desa Balongan, kecuali becak. Usai melintasi rel dan tiba di jembatan Kali Gandulan, kami turun becak dan jalan kaki. Bau busuk langsung menyambutku. Kukira Alin kentut. Namun, sebelum aku menuduh dan dipukuli olehnya, aku tahu bahwa ini bukan bau kentut Alin.

Kali Gandulan bukanlah sebuah sungai, tapi lebih tepat disebut sebagai got raksasa. Warna airnya merah kehitaman, sehingga kupikir tidak akan ada orang waras yang memanfaatkan airnya. Ternyata aku salah. Beberapa orang tampak melakukan berbagai macam aktivitas di sungai itu. Ada yang mandi, memandikan anaknya, dimandikan orang tuanya, mencuci, dan buang hajat. Aku hanya melalui mereka di tepi kali sambil berpikir, mungkin aku terkena halusinasi, dan bau busuk serta pemandangan di sampingku hanya ilusi.

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now