Bagian 31: Hutan Kalabendu

2.1K 546 72
                                    

Tiga puluh menit kemudian, kami tiba di dekat Bendungan Kayularang. Tempatnya agak terpencil dari peradaban. Kampung terdekat jaraknya sekitar dua belas kilometer dari sini. Di kanan jalan ada saluran irigasi dengan lebar sekitar tujuh hingga sepuluh meter sebagai sumber air bendungan. Di seberang kali ada hutan jati. Itulah hutan Kalabendu. Untuk menuju ke sana, kami harus melewati jembatan.

Ada sebuah mobil polisi di bibir jembatan. Namun, aku tak melihat seorang pun di sana.

Sementara itu, di kiri jalan terdapat hamparan sawah yang diapit oleh perkebunan kapas. Beberapa petani berpakaian lusuh sedang duduk-duduk di bawah salah satu pohon randu yang tumbuh berjajar di tepi jalan. Tampaknya mereka tengah beristirahat.

"Nuwun sewu, Pak," sapaku. "Itu ada apa ya kok ada mobil polisi diparkir di sana?"

Para petani yang tadinya asyik bercakap-cakap pun teralihkan. Mereka menatap kami, seakan tak percaya bahwa ada dua orang anak SMA dan seorang anak SMP yang berkeliaran di sini.

Salah seorang di antara mereka berkata sambil mengipas-ngipas capingnya.

"Ada yang buang mayat di hutan lagi."

Lagi?

"Bapak pernah lihat langsung?" tanyaku.

"Kalau yang sekarang, enggak. Tapi dulu pernah ada orang dibegal di dekat situ," ucapnya sambil menunjuk jembatan. "Orangnya enggak mau ngasih motornya, akhirnya dibacok. Mayatnya dipendem."

"Sering ada begal ya di sini?"

"Wah, sering banget, Mas. Mending Mas dan Mbak-Mbak jangan keluyuran di sini. Apalagi kalau malem. Ngeri."

Para petani itu menganggap bahwa mayat yang baru saja ditemukan polisi adalah korban begal juga. Selain soal itu, tak ada hal penting yang kudapat dari percakapanku dengan mereka. Mereka sama sekali tak tahu tentang identitas mayat tersebut.

Kami pun berjalan ke jembatan. Dari sisi lain jembatan, tampak tiga orang polisi menuju ke arah kami. Dua di antaranya menggotong kantung mayat, sedangkan yang satu memimpin di depan mereka. Ia tampak lebih tua daripada dua polisi di belakangnya. Kulitnya gelap. Garis-garis wajahnya kasar. Selain itu, ada codet berbentuk huruf lam di pipi kirinya.

Tiba-tiba Alin mencubit-cubit lenganku.

"Sakit tahu!"

"Grey," bisiknya. "I-itu dia! Dia yang menggantikan ayahku dalam kasus Kak Ratna! Dia yang kemarin datang ke rumahku!"

Lantas apa urusannya dengan lengan yang kaucubit?

Salah seorang pria yang membawa kantung mayat pun menegur kami. "Sedang apa kalian di sini? Ini bukan tempat kencan anak sekolah!"

Suara beratnya cukup menggetarkan kakiku.

"Tidak apa-apa, Man. Bawa saja mayat itu ke mobil," ucap pria bercodet lam. Rambutnya cepak, sisi kanan dan kiri kepalanya nyaris botak. Pada tanda pengenalnya tertera: Isnan Sodikin.

"Tunggu," cegah Alin. "Boleh kami lihat mayat itu dulu?"

"Hei, jangan ikut campur urusan kami. Pulang sana!" bentak polisi yang membawa kantung mayat.

"Sudahlah, Man. Jangan kasar-kasar." Polisi bernama Isnan mengamati kami satu per satu. Lalu pandangannya berhenti pada Alin. "Ada putri cantik anaknya Pak Hendrik di sini."

Isnan tersenyum, menaikkan kumis tipis di kedua sisi bibirnya. Ia mendekati Alin dengan perlahan, sementara yang ia dekati malah menarik lenganku dan mundur sambil gemetaran.

"Kenapa kamu ke sini? Kangen ya sama Om? Kan kemarin kita sudah ketemu. Masih kurang?"

Alin melotot, berusaha keras untuk tidak takut. Namun, tangannya terasa dingin di lenganku.

Isnan mencoba mencuil dagu Alin, tetapi gadis itu langsung menepisnya.

"Jangan ge-er, aku ke sini bukan buat Om."

Isnan tertawa terbahak-bahak. Ia menyulut rokok di mulutnya dan berkata, "Pulanglah. Apa pun urusanmu, di sini tidak aman untuk gadis semanis kamu."

"Justru polisi kayak Om yang bikin kota ini enggak aman," balas Alin. "Kalau Ayah masih jadi kapolsek, daerah ini enggak bakal jadi sarang begal."

"Buahahahaha!" Asap rokok menyembur keluar dari mulut Isnan. "Itu. Itu yang kusuka darimu. Biarpun ketakutan, mulutmu tetap tajam. Nih, biar Om kasih tahu. Jangan dengarkan kata-kata ayahmu. Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Gadis cantik sepertimu cukup belajar masak, mencuci, dan melayani suami. Nanti kalau kamu lulus SMA—" Isnan menjilat bibirnya. "—mending nikah sama Om."

Alin melepaskan genggaman tangannya dari lenganku. Ia pasti sudah meninju Isnan jika tak kutahan.

Tak hanya Alin, kesabaranku juga diuji. Apa aku akan dipenjara kalau tanganku tak sengaja menonjok muka polisi?

"Mas Diaz ...."

Suara Azka sedikit meredam amarahku.

"A-apa itu Mas Diaz?" tanyanya sambil menunjuk kantung mayat yang dibawa para polisi.

Aku kembali teringat. Tanpa pikir panjang aku pun memberitahu maksud kedatangan kami kemari.

"Dia Azka, adik Diaz Rizaldi. Dia ke sini ingin mencari kakaknya yang hilang," kataku.

Isnan mengernyitkan dahi. "Bagaimana kalian bisa tahu tentang—ah, kamu menguping ya kemarin?"

Alin membuang muka.

"Kami tak bermaksud apa-apa," kataku. "Kami cuma mau lihat apakah mayat itu benar-benar jenazah kakak Azka. Kalau tidak boleh ya sudah."

Isnan mengelus-elus dagu, lalu tersenyum.

"Ya ... kebetulan kami juga mau menghubungi rumahnya. Karena salah satu anggota keluarganya sudah ada di sini, baguslah," ujarnya santai. "Man! Dul! Buka kepalanya!"

Kedua anggota polisi lainnya pun menuruti perintah Isnan. Begitu ritsleting kantung berwarna kuning itu dibuka, sosok yang familiar pun tampak. Meski rambut dan brewoknya sudah dicukur, serta banyak luka dan kotoran di wajahnya, tampangnya tetap mengingatkanku pada tampang Grandong yang kutemui di ruang klub dan warteg dekat mapolsek Sabtu lalu. Belum genap seminggu berjumpa dengannya, kini ia sudah terbujur kaku. Matanya melotot, lidahnya menjulur, seolah mulutnya terlalu sesak untuk menyimpan nyawa.

"Enggak apa-apa, Mbak. Enggak apa-apa."

Aku melirik ke arah Azka. Alin mencoba menutupi wajahnya, tetapi gadis SMP itu menolak dengan halus. Di luar dugaan, Azka terlihat tenang. Kupikir ia bakal menangis tersedu-sedu atau berteriak memanggil-manggil nama kakaknya. Ternyata tidak. Aku tak tahu apakah hatinya remuk redam atau otaknya korslet. Yang jelas, wajahnya hanya menampakkan tatapan kosong dan senyuman hampa.

Aku kembali mengamati mayat Mas Diaz. Entah kenapa, ada yang janggal dengan ekspresinya.

"Pak, kalau boleh tahu, apa penyebab kematiannya?" tanyaku.

"Dicekik sampai mati. Tanpa perlu otopsi pun aku sudah tahu. Kain ini pelakunya," jawab Isnan sambil menunjukkan kain merah yang digulung sehingga menyerupai setangan leher anak pramuka. Ia juga menunjukkan bekas luka di leher Mas Diaz untuk memperkuat teorinya.

Dicekik? Apa di rekaman itu Jerry pernah mencekiknya?

"Kalian jangan khawatir. Aku tahu siapa pelakunya," ujar Isnan sambil menyimpan kain itu kembali. "Kusarankan jangan dekati desa Balongan sore ini. Akan ada pembersihan."

Isnan menyeringai seperti serigala lapar yang baru melihat mangsa.

***

A/N: Halo! ^^ Terima kasih atas dukungan dan apresiasinya! Meski kesibukan di dunia nyata perlahan-lahan semakin menyiksa, saya harap saya bisa terus konsisten apdet hingga cerita ini mencapai garis FINISH! And I hope you always enjoy it!

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now