Bagian 60: Keputusan Kelabu

2.1K 495 62
                                    

Aku makan siang, mandi, ganti baju, lalu mengeluarkan isi tasku sehingga tinggal laptopku yang tersisa. Mobil limosin Poppy datang lebih cepat dari dugaanku.

Poppy langsung menyambutku dengan riang dan mengaitkan lengannya di lenganku. Ia tak melepaskannya meski kami sudah memasuki mobil.

Aku malas meladeninya, jadi kubiarkan saja ia bertindak sesukanya. Namun, lama-lama aku risih juga. Kubuka kaitan tangannya dengan paksa lalu kudorong tubuhnya.

"Aku kangen tahu. Lama enggak ketemu kamu," katanya sambil mendekat dan mencoba menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Kita ketemu terakhir di kantin tadi pagi. Jangan bersikap seolah aku Bang Toyib."

"Kalau di sekolah kan enggak bisa nempel-nempel gini."

"Memang siapa yang membolehkanmu nempel-nempel di sini?"

"Mmm, Grey kok jahat banget sih sama aku."

Poppy menggembungkan pipi. Astaga. Kalau saja ia bukan pion beracun milik Rendy, aku pasti sudah mengikuti permainannya dan mencubit pipi tembamnya. Apalagi di balik sweternya ia cuma memakai kaus ketat. Belahan dadanya tak tertutup rapat. Kualihkan pandanganku ke luar jendela sebelum hormon priaku tak lagi bisa diajak kompromi.

Sepanjang perjalanan, aku berpikir apakah keputusanku sudah tepat. Akan lebih baik kalau polisi membereskan kasus itu lebih dulu. Namun, apa dengan menyingkirkan satu oknum cukup untuk menghilangkan korupsi di kepolisian? Kalau Darto menyeret keluarga Prakoso bersamanya, bagaimana dengan ibuku?

Aku bisa berlagak tangguh di depan Rendy, tetapi sejujurnya aku khawatir dengan masa depan kami. Bagaimana jika Rendy mau melakukan apa pun demi membuat kami menderita? Rasanya aku tak punya pilihan selain menuruti keinginan egoisnya.

Atau tidak. Sebenarnya aku punya pilihan lain. Aku bisa membiarkan semuanya berjalan tanpa campur tanganku. Aku bisa pergi sejauh mungkin dari kota ini, dari jangkauan Rendy, dan melupakan tentang menyelamatkan Feli. Biarkan orang dewasa mengatur semuanya. Lagi pula, peluang hidupnya kecil.

Masih belum terlambat untuk berubah pikiran.

"Poppy, aku—"

"Grey, lihat! Kita dah mau sampai!" serunya sambil berdiri dan menunjuk jendela. Dadanya menekan pipiku sehingga aku kehilangan momentum untuk bicara.

Ah, sudahlah. Aku tak sepengecut itu untuk kabur setelah berjanji pada banyak orang. Terlebih, Feli ditangkap sebagian karena kesalahanku.

Pintu gerbang di bawah gapura bertuliskan "PRAKOSO RESIDENCE" dibuka. Aku telah tiba di tempat tinggal keluarga Prakoso dan kerabat-kerabatnya. Menyebutnya perumahan mewah sama dengan memandang rendah. Tempat ini lebih mirip taman wisata.

Baru masuk saja, di sebelah kananku terdapat telaga dengan air mancur setinggi lima meter di tengah-tengahnya. Sementara di sebelah kiriku, ada taman bunga yang dibungkus jaring bola transparan raksasa dengan banyak koleksi kupu-kupu langka. Aku tak melihat bangunan sebelum melewati hutan buatan yang dihuni kijang dan burung-burung berwarna cerah.

Tentunya, bangunan-bangunan di sini lebih mirip istana daripada rumah. Tak ada unsur Indonesia sama sekali di desainnya. Semuanya tampak seperti replika negeri dongeng yang dibangun di antara limbah pabrik, rumah bordil, dan sarang mafia. Sungguh menggelikan.

"Rumah Kak Rendy ada di paling belakang. Tuh, yang ada towernya," ujar Poppy sambil menunjuk bangunan yang mirip mercusuar Eropa. "Kak Rendy suka banget sama tempat-tempat tinggi."

Rumah kepala keluarga Prakoso bahkan lebih buruk. Bangunannya didirikan di atas bukit layaknya markas bos terakhir dalam novel fantasi.

Mobil Poppy berbelok dan tak memilih jalan naik ke rumah Rendy. Kami berhenti di halaman rumah mewah yang lebih kecil—walaupun tetap jauh lebih besar dan lebih luas daripada rumahku—tempatku dirawat kemarin.

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now