Bagian 50: Kembang Api

2K 525 105
                                    

Sialan! Kenapa Alin menelepon pada saat-saat begini?

Darto mengangkatnya, menyentuh gambar loudspeaker, lalu mendekatkan ponselku ke mukaku. Terdengar suara kendaraan berlalu-lalang sebelum Alin menyapa,

"Halo, Grey? Kamu lihat Eca?"

"Apa kau di luar?"

"Aku lagi cari Eca. Ibunya bilang dia belum pulang sejak main ke rumahku. Katanya dia main ke rumah temennya yang lain, tapi enggak bilang ke rumah siapa—Grey? Kamu kenapa? Kok napasmu enggak teratur gitu?"

"Cepat pulang! Pulang dan lapor bapakmu sekarang atau—"

Darto membanting ponselku. Mat Kupluk menginjak-injaknya dan Jarot tertawa cekikikan.

Tamat sudah.

Darto mencengkeram bibirku. "Apa cewek itu penting buatmu? Ah, tentu saja. Dia adalah cewek yang seharusnya Diaz perkenalkan pada kami. Kau melakukan semua ini untuk menyelamatkannya, ya? Sayang sekali. Tapi tenang saja. Selama dia patuh, kami takkan memperlakukannya seperti Ratna."

Mereka tertawa lagi. Kalau bisa aku ingin mencekoki mulut mereka dengan minyak jelantah dan menyumbat telingaku. Ah, aku tak tahan lagi. Aku mau menangis. Aku mau pulang dan meminta Ibu untuk mendekap dan mengelus-elus rambutku. Aku ingin bertemu Bapak. Kuharap Bapak datang dan menghajar semua orang di ruangan ini agar aku bisa pergi.

"Ratna adalah kegagalan," lanjut Darto. "Dia lebih memilih mati daripada bersenang-senang. Aku takkan membiarkannya terjadi lagi. Aku akan melatih pacarmu agar dia menikmati permainan kami sampai dia jadi terkenal. Kalau mau, kau juga bisa jadi pelanggan pertamanya."

Berhenti! Telingaku bukan tempat pembuangan kaset rusak! Keparat!

"Mawar dan komplotannya akan membawa cewek itu ke sini," kata Mat Kupluk.

"Jadi, apa lagi yang masih kausembunyikan?" tanya Darto padaku.

Tahan, Grey. Kau tak bisa menunjukkan kelemahanmu di sini. Menyerah sama saja meremehkan Alin. Tarik napas dalam-dalam dan ingat baik-baik kata-kata Bapak. Hidup memang asu. Kau harus segigih dan sekeras batu.

Kupaksa bibirku untuk tersenyum dan berkata, "Kalau aku jadi pelanggan pertamanya, apa aku dapat diskon?"

Darto mengernyitkan dahi.

"Kenapa? Abang yang menawariku, 'kan? Jika Alin sepayah itu sampai mau menjual dirinya pada Abang, maka dia tak ada bedanya dengan pelacur-pelacur milik Abang yang lain. Jadi? Sudah kepikiran berapa tarifnya? Atau aku boleh mencobanya gratis?"

Darto menodongkan pisau kerambitnya di pipiku. Ia berbisik. Setiap ucapan bernada rendahnya selalu terdengar seperti bisikan. "Aku paling muak dengan anak sekolah yang bertingkah sok pintar di depanku."

"Oh, setahu saya bos Abang juga anak sekolah. Bukankah itu ironis?"

Kerambitnya turun ke daguku sehingga aku terpaksa mendongak.

"Abang pasti sudah lama menyimpan dendam pada Kak Jerry. Gumpalan otot yang susah dikontrol benar-benar menyebalkan, bukan?"

Si boncel Jarot menjambakku. "Dia mulai mengigau, Bang. Perlu aku—"

"Tunggu," cegah Darto. "Aku jadi penasaran. Kuharap hal bagus keluar dari mulutmu atau kutebas lehermu."

"Aku tak mau cari masalah dengan Abang," kataku. "Aku hanya ingin membalas Kak Jerry dan keluarganya. Kehidupan sekolahku hancur gara-gara mereka. Kalau Abang mau, bukan cuma Alin, aku juga bisa membawakan cewek-cewek Smansa lainnya sebagai koleksi Abang. Termasuk Poppy."

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now