Bagian 57: Dragon In Distress

2K 498 81
                                    

"Tapi, Mbak. Saya diminta ayah Mbak buat langsung mengantarkan Mbak pulang."

"Sebentar doang kok! Bilang aja ke Ayah kalau aku mau ngerjain tugas!"

Setelah bernegosiasi alot dengan seorang polisi berpakaian preman yang jadi pengawalnya, Alin pun ke rumah Ivan bersamaku. Polisi itu memberi kami tumpangan dengan mobilnya, lalu mengawasi di depan rumah. Wajahnya begitu khawatir seolah-olah ia bakal dipecat seandainya Alin tergores sedikit saja.

Kami duduk di sofa lantai dua di depan kamar Ivan. Kutunjukkan buku catatanku pada mereka berdua. Kamera Ivan masih disita kepolisian, sehingga yang tersisa tinggal memori ponselku dan salinan rekaman di laptopku.

"Jadi itu alasan Gita membenci cowok," ujar Ivan. "Keluarga kami sudah berteman sejak lama, tapi aku tak pernah tahu soal masa lalunya. Padahal di luar dia kelihatan biasa saja."

Sementara itu, Alin hanya diam dan menatapku sebal.

"Aku jadi makin bingung. Sebenarnya siapa Mr. I?" tanya Ivan.

Pertanyaan bagus, karena aku juga tak tahu jawabannya. Aku hanya tahu sosoknya dari pengakuan orang-orang yang bertemu dengannya di internet, serta lewat surat kaleng yang tak memberiku petunjuk apa-apa. Saat ini, orang bisa pura-pura menjadi orang lain di internet hanya bermodal akun gratisan. Tak ada jaminan bahwa nama Mr. I merujuk pada satu orang saja.

Petunjuk terakhir yang kuterima adalah kertas hitam putih dari Darto, serta pengakuan Alin, Roy, dan Ivan bahwa ada yang ingin menyingkirkan rekaman itu atas kehendak Mr. I.

Kuamati lagi topeng-topeng wayang yang dipajang di dinding rumah Ivan. Itu mengingatkanku. Topeng yang kutemui di saluran air Pondok Kamboja juga topeng wayang.

Rasanya ada sesuatu yang kulewatkan.

"Kakak tahu tentang ini?" tanyaku sambil mengeluarkan kertas hitam bertuliskan ANTAR di bagian putihnya.

Ivan membelalakkan mata.

Kuceritakan tentang bagaimana aku menemukannya, lalu berkata, "Aku ingat Kakak meminjamkan beberapa jubah hitam dari kertas waktu KTS minggu lalu. Saat aku berjalan di depan rumah Kakak, aku jadi sadar bahwa tulisan di kertas itu adalah sobekan dari TATA NUSANTARA—nama perusahaan Kakak. Kurasa Mas Diaz merobeknya sedikit tepat sebelum ia dicekik sampai mati. Dengan kata lain, pembunuhnya memakai jubah milik Kakak."

"Tunggu, bukannya di dalam rekaman, Diaz mati dikeroyok?" tanya Ivan.

Aku menggeleng. "Dia memang dipukuli, tapi dia tewas karena dicekik." Kutambahkan juga keterangan dari Darto saat ia menyekapku. "Siapa pun yang membunuh Mas Diaz, dia pasti ingin membungkamnya agar tak membocorkan rahasia tentang Mr. I. Mungkin Kakak tahu siapa saja yang meminjam jubah kertas Kakak sebelum hari Minggu?"

"Ah, ya, jubahku memang hilang satu waktu itu. Seksi perlengkapan pentas meminjamnya pada hari Sabtu. Mereka bilang jumlahnya tidak pas sejak awal, tapi aku tidak percaya. Jubah itu pasti diambil saat mereka teledor, atau mereka sendiri yang mengambilnya."

"Ada acara apa di hari Sabtu dan Minggu?" tanyaku.

"Sabtu gladi kotor, Minggu gladi bersih," sahut Ivan. "Sialan. Apa perlu kita interogasi semua yang hadir di sana satu-satu?"

"Memangnya berapa yang hadir waktu itu?"

"Emm ... jumlahnya tidak pasti karena banyak yang keluar-masuk aula waktu itu. Yang jelas ada anak ekskul bela diri, klub drama, seni tari, ekskul rebana, beberapa anak band, ditambah panitia dan anak-anak yang nonton ... mungkin sekitar lima puluh orang."

"Terlalu banyak. Percuma," kataku. Aku tak punya sumber daya seperti kepolisian. Aku perlu menggunakan pendekatan lain.

"Tunggu sebentar, siapa lagi yang melihat rekaman itu selain kalian berdua?" tanya Alin.

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now