Bagian 10: Satu-Satunya Pilihan

2.7K 615 70
                                    

Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setelah menerima informasi dari Mas Diaz, insting pertamaku adalah mengunjungi rumah Roy. Rumahnya hanya berjarak satu blok, tepat di belakang rumahku.

Kuketuk pintu rumahnya berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Suhu di luar semakin dingin. Jaket abu-abu yang kupakai tak lagi dapat menghentikan gigil tubuhku. Roy tinggal sendirian di sini. Lampunya menyala. Motornya juga ada di teras. Apa dia sedang tidur?

"Om, buka pintunya!" seruku seraya mengetuk pintu.

Tak lama kemudian, Roy membukakan pintu. Tubuh tingginya menjulang di hadapanku dengan hanya memakai handuk dan singlet. Rambutnya basah seperti habis mandi. Tampaknya ia tengah menelepon seseorang.

Matanya melebar melihat kedatanganku. Setelah menyuruhku masuk, ia kembali berbicara dengan seseorang lewat ponselnya.

"Tidak, hari ini tidak ada kegiatan klub .... Apa? Sejak tadi pagi? Oh .... Ya, ya. Nanti kalau ketemu dia saya kabari .... Oke, oke. Sama-sama. Waalaikumsalam."

Usai menelepon, ia menoleh dan tersenyum padaku.

"Tumben main ke sini. Kesepian ya di rumah?"

"Om, aku mau bicara," ujarku tak peduli dengan basa-basinya. "Ini soal klub."

"Wow, wow, mukamu serius amat. Santai 'dikit lah." Ia lalu pergi ke belakang. Terdengar suara sendok dan gelas beradu. Kurasa ia sedang membuat minuman di sana. "Mau kopi atau teh?"

"Tak usah repot-repot. Aku cuma mampir sebentar."

Ia tetap menyuguhkan secangkir teh panas padaku.

Roy duduk di sofa. Ia belum memakai baju. Untuk seorang pria berusia 35 tahun, otot-ototnya kekar juga. Selain itu, di cuaca sedingin ini, ia sama sekali tak terlihat kedinginan.

"Baik. Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya.

"Om ingat Ratna Oktaviana?"

"Ratna? Oh, ya. Dia gadis yang baik. Cantik, pintar, ramah, tidak pernah membuat masalah ...." Roy memandang ke bawah. Tatapannya sendu. "Tak ada yang mengira hidupnya bakal berakhir seperti itu."

"Kak Ratna meninggal setelah ia berpura-pura menjadi pacar Rendy Prakoso. Berita di koran bilang, Rendy adalah orang yang terakhir bersamanya. Ia juga sempat menjadi tersangka. Sebelum meninggal, dalam beberapa rapat klub Kak Ratna sering menyampaikan tentang keinginannya untuk menyelidiki Rendy terkait kasus pemerkosaan. Setelah itu, klub sering menerima banyak ancaman, sampai-sampai tinggal dua orang yang tersisa dalam rapat mereka. Kemungkinan besar, Kak Ratna tewas saat mencoba menguak rahasia 'pacar'-nya."

Aku berhenti sejenak untuk bernapas.

"Pertanyaanku, di mana Om waktu itu? Om adalah pembimbing klub. Seharusnya Om hadir saat rapat klub. Kenapa Om tidak menghentikan Kak Ratna?"

Senyuman di wajah Roy menghilang.

"Dari mana kamu tahu tentang itu semua?" tanyanya.

"Cuma riset kecil-kecilan." Dilihat dari ekspresi Roy, sepertinya catatan yang Mas Diaz kirim cukup akurat.

Pria berkulit gelap itu terkekeh-kekeh.

"Meskipun aku pembimbing klub, aku tidak selamanya bisa mengawasi gerak-gerik anggota klub. Siapa yang bisa menyangka bahwa akhirnya bakal seburuk itu?"

"Tapi Om seharusnya tahu bahwa kasus yang mereka selidiki masuk ke ranah penyelidikan polisi. Itu bukan kasus yang bisa diselidiki siswa SMA dengan hanya bermodal kamera. Setidaknya Om juga tahu bahwa ada yang salah setelah mereka menerima ancaman dan pemukulan. Mereka sudah menerima itu kira-kira sejak tiga minggu sebelum Kak Ratna menghilang. Jangan bilang Om tak tahu soal itu?"

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now