Bagian 30: Azka

2.1K 533 54
                                    

Namanya Azka Zaskia, adik dari Mas Diaz. Ia duduk di salah satu kursi di ruang UKS usai Roy menyuruhnya duduk. Dilihat dari dekat, ia tampak kurang sehat. Tubuhnya kurus kering dan ada cekungan di sekitar matanya.

Azka menyusup ke Smansa untuk mencari informasi tentang keberadaan kakaknya. Ternyata Mas Diaz tak pulang ke rumah sejak Sabtu. Kata Azka, kakaknya memang sering keluyuran sampai berhari-hari, sehingga ia menganggapnya wajar. Baru kemarin ia curiga saat membersihkan kamar kakaknya. Mas Diaz meninggalkan laptopnya di kamar. Padahal biasanya ia selalu membawanya. Setelah itu, Azka mencari ke tempat-tempat favorit kakaknya. Sampai sekarang, hasilnya nihil.

Demikian informasi yang kudapat setelah susah payah mengajak Azka bicara. Ia sangat pendiam, bahkan lebih pendiam daripada kakaknya. Saat kutanya, ia hanya mengangguk, menggeleng, atau tak bereaksi sama sekali. Selain itu, ekspresinya juga datar dan sulit ditebak. Paling bagus ia hanya mengucap sepatah dua patah kata.

"Bukannya sekarang seharusnya kau berada di sekolahmu?" tanyaku.

"Bolos."

Aku melirik ke arah Roy. "Apa tidak apa-apa?"

"Aku sudah bilang ke gurunya bahwa dia ada urusan keluarga. Selama tidak ada yang tahu, tidak masalah."

Secara teknis, Azka memang punya masalah keluarga. Jadi Roy tak salah. Namun, rasanya aku seperti baru mendengar kata-kata yang tak pantas diucapkan oleh seorang guru di depan muridnya.

Aku melanjutkan pertanyaanku. Satu-satunya petunjuk yang Azka temukan adalah saat bertanya pada penjaga warteg di dekat mapolsek. Penjaga warteg bilang, Mas Diaz terlihat berbicara dengan orang mencurigakan yang memberinya sejumlah uang.

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanyaku lagi.

"Rambutnya berantakan," jawab Azka.

"Terus?"

"Cambangnya agak panjang."

"Uh-huh?"

"Pakai jaket abu-abu."

"Oke."

"Dia bawa sepeda. Warnanya biru. Ada tulisannya. Ranger."

Aku manggut-manggut. "Heh?!"

Itu kan aku!

"Maksudmu seperti ini?" tanya Roy sambil menunjukkan fotoku memakai jaket abu-abu sambil menunggangi Ranger.

Kampret, tak usah diperjelas!

Sementara itu, ekspresi Azka perlahan-lahan berubah dari yang tadinya datar-datar saja menjadi lebih ... intens. Matanya melotot, bibirnya membentuk u terbalik, lalu ia bangkit dari tempat duduknya.

"Di mana Mas Diaz?"

Aku menelan ludah.

"Di mana Mas Diaz? Hah! Di mana?!" Belum sempat aku membalas, tangannya mencengkeram singletku. "Di mana Mas Diaz!"

"S-sabar, sabar. E-eh, jangan ditarik-tarik! Nanti robek! Ah!"

Tiba-tiba pintu terbuka.

"Grey! Kamu enggak apa-ap—ewh, kamu lagi ngapain?"

Azka berhenti menarik-narik pakaian dalamku. Yang barusan datang adalah Alin—pengganggu nomor tiga. Ekspresinya cepat sekali berubah dari panik menjadi jijik.

"Kenapa kau ke sini?" tanyaku pada Alin.

"Tadi aku ketemu sama Poppy. Kamu habis dihajar ya? Dia minta aku buat ngasih ini ke kamu, katanya bajumu kotor." Alin menunjukkan baju olahraga di tote bag yang ia bawa. "Heran. Kenapa dia enggak ngasih sendiri sih?"

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang