Bagian 14: Pink Blazers

2.8K 573 124
                                    

Mulai Senin ini, sekolahku mengadakan KTS, alias Kegiatan Tengah Semester. Katanya akan ada banyak lomba dan kompetisi antarkelas. Aku belum tanya Red apa saja lombanya. Aku tak begitu peduli sih. Singkatnya, KTS adalah ajang pelampiasan siswa yang otaknya aus gara-gara Ujian Tengah Semester minggu lalu.

Sekarang pukul sepuluh pagi. Hanya sedikit orang di kelasku. Karena KTS, pelajaran pun ditiadakan. Beberapa teman sekelasku ada yang ikut lomba olahraga, pentas seni, atau sekadar menonton bersama teman dan pacar mereka. Sementara aku dan beberapa orang yang tak mengikuti kegiatan apa-apa disuruh mengikuti lomba manajemen kelas. Tugas kami adalah membersihkan, merapikan, dan menghias kelas. Selain itu, kami juga harus membeli perlengkapan kelas yang hilang, rusak, atau yang belum kami miliki. Dengan kata lain, kami menjadi babu.

Aku sedang membersihkan noda tip-ex di mejaku saat Red dan ketiga teman cowoknya asyik bercengkerama di depan kelas. Mereka sepertinya sedang membahas cewek.

"Kalau Alin nembak kalian, kalian bakal nerima atau nolak?" tanya cowok berambut nyaris botak dan bergaris-garis. Namanya Boris, atau Bondan ya? Anggap saja Bondan.

"Alin? Lumayan. Sayang, 'kurang gede'," sahut cowok yang mukanya mirip rempeyek gara-gara jerawat. Namanya Rustam.

"Positive thinking aja, mungkin seragamnya kegedean jadi nggak terlalu kelihatan. Siapa tahu aslinya gede," timpal cowok tertinggi di antara mereka berempat. Namanya mirip nama nabi, tapi aku lupa nabi yang mana.

Aku setuju dengannya. Kau takkan tahu besarnya suatu hal sebelum kau memegangnya sendiri. Sumber: pengalaman pribadi.

"Buat ane punya Kak Feli tetap nomor satu," ujar Rustam. Ia lalu merangkul Red. "Kalau Red mah, udah pasti nerima. Ya nggak, Red?"

Red tertawa sambil memalingkan muka.

"Siapa yang suka sama cewek jutek kayak dia?" ucap Red. "Lagian, kenapa selera kalian cewek-cewek sadis semua sih?"

"Kalau Poppy gimana? Udah manis, ramah, pinter nyanyi lagi. Denger dia ngomong aja berasa denger bidadari surga." Bondan bertopang dagu di atas meja guru. Lalu ia cengar-cengir. "Mungkin aku bakal nembak dia besok."

Ucapannya ditanggapi dengan gurauan oleh rekan-rekannya.

"Tampang kayak 'gitu mau macarin Poppy?" ejek Red.

"Gayamu bidadari surga. Pernah ke surga aja kagak!" tambah cowok yang aku lupa namanya.

"Hahaha! Ente mah sukanya sama yang mungil-mungil. Dasar pedo!" timpal Rustam.

"Pedo apaan njir?! Poppy kan seangkatan sama kita. Jadi ya legal dong," balas Bondan.

"Karepmu, Ndan! Ane nggak mau ikut-ikutan, takut diciduk," sahut Rustam lagi.

Aku berhenti mendengarkan mereka. Aku yakin mereka belum pernah dijebak, diancam, dan nyaris dihancurkan hidupnya oleh cewek dengan sebuah kamera. Cewek itu mengerikan.

Selesai membersihkan meja, aku bergegas keluar kelas.

"Grey, mau ke mana?" tanya Red saat kami berpapasan.

"Cari angin," jawabku sekenanya.

Red meninggalkan rekan-rekannya dan mengikutiku. Dari tubuhnya tercium aroma melati. Jarang-jarang Red memakai parfum. Kuharap ia tak mengambil bunga yang baru ditabur di atas kuburan lalu menggosokkannya ke badan.

Saat kami berjalan-jalan di sepanjang koridor gedung sekolah, Red bertanya, "Hei, Grey, kau merasa ada yang aneh dengan Alin?"

Lagi-lagi Alin. Bisa tidak sehari saja aku tak mendengar namanya?

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang