Bagian 28: Surat Kaleng

2.3K 529 105
                                    

Aku menelan ludah. Kedua kakiku serasa mengakar di dalam tanah.

"Wow," ucapku gemetar, "jadi aku harus lari sekarang?"

Akhirnya kakiku dapat digerakkan. Aku pun mundur perlahan. Ini bukan pertama kali aku bertemu dengan anggota geng Tomcat. Namun, ini adalah kali pertama aku bertemu setelah tahu reputasi mengerikan mereka. Poppy masuk geng Tomcat? Aku tahu dia adalah sepupu Rendy dan Jerry, tapi tetap saja ....

Poppy kembali menutup tato di pinggangnya dengan kausnya. Ia tertawa terpingkal-pingkal.

"Tegang amat. Aku cuma bercanda, Grey sayang," ujarnya nakal. "Masa ketemu cewek cantik begini malah lari. Emang aku Si Manis Jembatan Ancol?"

Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat.

"Menurutmu mempermainkan orang itu lucu, ya?"

Poppy berhenti tertawa. Ia memalingkan wajah ke arah sawah yang membentang di belakang aula.

"Apa kamu membenciku, Grey?"

"Siapa peduli?"

Poppy tersenyum. "Aku kenal Alin sejak masih SD. Meski kami jarang mengobrol, tapi aku cukup tahu. Dia enggak pernah berubah. Setiap ada sesuatu yang menurutnya salah, dia akan turun tangan untuk membetulkannya. Dia enggak peduli pada reputasi, harga diri, ataupun statusnya. Menurutku, itu yang bikin dia istimewa."

Kedua mata dwiwarna gadis itu terlihat sendu.

"Tapi kadang dia juga enggak memikirkan keselamatannya," lanjut Poppy. "Kasus yang sedang dia selidiki sekarang jauh di luar kemampuannya. Kamu pasti paham, 'kan? Tindakan Alin itu nekat. Aku cuma mau memperingatkannya."

"Cuma memperingatkan? Kau mengancam Alin dan Red, menjebak Lilis, mengadu domba seluruh anggota penting Klub Jurik, itu semua cuma untuk memperingatkan Alin?"

"Grey, apa menurutmu Alin pantas bergaul sama mereka?" tanya Poppy. "Alin itu cantik, pintar, atletis. Kalau bukan karena idealismenya, dia pasti udah jadi superstar di sekolah ini. Mungkin Klub Jurik pernah berjaya dulu, tapi sekarang mereka cuma jadi racun bagi Alin. Lihat sisi positifnya. Lilis bakal dikeluarkan. Alin enggak perlu cemas lagi dengan teror cewek setan itu. Aku juga bisa melakukan hal yang sama pada pengganggu-pengganggu Alin yang lain."

Omong kosong.

"Lantas bagaimana dengan Mas Diaz? Dia hilang sejak dua hari yang lalu. Gengmu pasti tahu tentangnya, 'kan?"

"Mas Diaz?" Poppy mengernyitkan dahi. "Aku nggak begitu paham. Tapi Minggu kemarin Kak Jerry datang ke rumahku sambil marah-marah. Tangannya berdarah. Pas kutanya kenapa, dia cuma bilang, 'Habis buang sampah.'"

Aku menahan napas.

"Kayaknya dia habis mukulin orang lagi," lanjut Poppy. "Kudengar dari rekannya, katanya ada dua orang yang mau menjebak dia. Yang satu ketangkep, cowok, yang lain, cewek, kabur bawa kamera."

"Di mana cowok itu sekarang?"

"Aku enggak tahu. Dari gelagat Kak Jerry, kayaknya dia udah ...." Poppy tak menyelesaikan kalimatnya. "Grey, a-apa dia Mas Diaz?"

Aku tak menjawab.

"Cewek yang bawa kamera itu ... Alin, 'kan?"

Aku tak menjawab. Pandanganku nanar. Seolah-olah bumi berhenti berotasi, sel-sel berhenti membelah, dan jarum jam berhenti berdetak. Aku kehabisan kata-kata. Atau mungkin, kata-kata yang sudah habis denganku. Tenggorokanku kering. Aku butuh minum. Persetan dengan Alin. Persetan dengan Mas Diaz. Persetan dengan segalanya. Aku mau pulang.

"Grey!"

Baru sedetik aku berbalik, tiba-tiba punggungku terasa hangat. Poppy memelukku dari belakang. Kedua tangannya gemetaran di perutku.

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now