Bagian 17: Teman Masa Kecil

2.2K 534 115
                                    

Pintu terbuka lebar hingga membentur tembok. Seisi ruangan terdiam. Tampak sekitar 15 sampai 25 orang duduk di sekitar meja bundar. Dua di antaranya adalah Alin dan Ivan. Alin memakai gaun hitam yang memperlihatkan kedua pundaknya, sedangkan Ivan memakai jas dan celana hitam. Mereka berdua duduk bersebelahan bak putri dan pangeran.

"Sorry telat," ucap Red datar. Pelan-pelan ia berjalan mendekati tempat duduk Alin dan Ivan. Sesampainya di dekat cowok botak yang duduk di sebelah Ivan, Red bertanya, "Di mana tempat dudukku? Di sini? Hmm?"

Red saling tatap dengan si botak. Ia mencengkeram pundak cowok itu, memaksanya pindah.

"Van, kayaknya ada junior yang minta dihajar," kata si botak. "Bolehkah aku—"

"Oh, hajar saja kalau berani," tantang Red. Mendadak ia menunjuk ke arahku. "Temanku jago kungfu. Sekali tinjumu menyentuh mukaku, dia bakal mematahkan pergelangan tanganmu, Mas Gun. Sebagai kapten tim basket, itu asetmu yang paling berharga, 'kan?"

Semua orang beralih menatapku.

Woy, Red! Kampret! Semprul! Apanya yang jago kungfu njir! Kalau mau sok keren jangan bawa-bawa aku 'napa? Kau pikir aku Jackie Chan?

Aku mengumpat-umpat dalam hati. Sialan. Terakhir kali aku berkelahi adalah saat kelas lima SD, itu pun cuma satu lawan satu. Dan sekarang Red membuatku harus melawan sebanyak dua puluh orang? Kalau begini terus, kami bisa pulang tinggal nama.

Aku berusaha tetap tenang. Sambil menegakkan tubuhku, kurogoh pistol air di tas pinggangku dan kuperlihatkan gagangnya pada cowok-cowok yang menatapku.

Wajah mereka mendadak pucat. Kelihatannya bualanku cukup ampuh.

"Minggir, Ndul," perintah Ivan. "Biarkan dia duduk."

Si gundul pun menyingkir dari kursinya.

"Kak Ivan juga minggir," kata Red. "Aku cuma perlu bicara dengan Alin."

Ivan tersenyum. "Alin sudah jadi pacarku sekarang. Kau tak berhak-"

"Tak berhak? Aku kasih tahu siapa yang lebih berhak. Aku kenal Alin sejak kecil, dan aku sangat tahu bahwa ayah Alin melarang keras anaknya berpacaran. Sekarang Kakak mau minggir, atau kuundang ayah Alin kemari untuk meramaikan pesta kalian?"

"Hei—"

"Enggak apa-apa, Kak," potong Alin. "Lagian aku yang mengundang Eca ke sini."

Gaun hitam dan lampu kafe membuat Alin terlihat menawan, tetapi sorot matanya mirip boneka tanpa jiwa.

Kini Red dan Alin duduk berhadap-hadapan.

"Apa yang mau kamu tanyakan?" Alin memulai percakapan.

"Pertama," ucap Red bak seorang penyidik, "apa benar kamu berpacaran dengan Kak Ivan?"

"Ya."

Red menghela napas panjang. "Dari sekian banyak cowok, kenapa kamu milih cowok berengsek seperti dia?"

"Emang kamu siapa? Ngata-ngatain orang lain berengsek. Kamu pikir kamu lebih baik daripada dia?"

"T-tapi bukannya ayahmu melarangmu buat—"

"Pacaran? Persetan dengan Ayah. Dia nggak penah mendengarkanku, kenapa aku harus mendengarkan dia? Lagian, apa hakmu sok-sokan bawa-bawa Ayah, hah?"

"K-karena ... a-aku ...."

"Karena apa? Yang jelas!"

"Karena aku cinta sama kamu!"

Orang-orang di sekitar mereka serempak berseru, "Owww ...."

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now