Bagian 40: Phantom Club

2.2K 546 83
                                    

Begitu aku pulang, kulihat Alin duduk di teras rumahku sendirian. Di sampingnya ada tas sekolah dan kresek hitam.

"Sejak kapan kau di sini?" tanyaku.

"Belum lama sih."

Aku pun cepat-cepat membuka pintu dan menyuruhnya masuk.

"Lebih baik kau tak menemuiku tanpa memberiku kabar dulu. Kau bisa dalam bahaya."

Alin merengut. "Kamu sendiri dihubungi nggak bisa."

Kuperiksa ponselku. Pantas saja. Baterainya habis.

"Kau mau apa ke sini?"

"A-aku cuma mau ngembaliin baju, sama ...."

Alin tampak ragu-ragu. Ia menggabungkan kedua tangannya, melepas, lalu menggabungkannya kembali bak membuat segel ninja.

"Sama?"

Alin menghindari tatapanku. Apa perasaanku saja atau memang mukanya memerah?

"Aku masih kepikiran sama ucapanmu kemarin. K-kamu beneran mau bantu aku, 'kan?"

"Kapan aku bilang begitu?"

"Hahh?! Tapi kemarin katanya kamu—" Alin tak menyelesaikan kalimatnya. Mukanya seperti baru membuka amplop kondangan yang isinya kosong.

Aku tak sanggup menahan tawa.

"Ih ... kamu ngerjain aku ya? Makan nih!" Alin melempar kresek di tangannya ke mukaku. Isinya pakaian Ibu.

"Ya, ya. Lagian kau datang cuma buat bilang begitu?"

Alin mendengus kesal.

"Setelah kupikir-pikir, kamu enggak bakal repot-repot menolongku Minggu kemarin kalau kamu sekongkol sama mereka," ujarnya. "Jadi aku memutuskan untuk percaya sama kamu."

"Artinya kau mau bekerja sama denganku dan menjawab pertanyaanku?"

"Iya, t-tapi kamu juga harus kasih tahu rencanamu. Aku enggak bisa tidur nyenyak kalau digantungin melulu."

Akhirnya Alin tahu yang kurasakan saat ia tak mau bicara padaku selama beberapa hari.

"Baiklah. Sekarang ceritakan yang kauketahui tentang Phantom Club dan Mr. I."

Alin bergidik. "Janji jangan bilang siapa-siapa?"

"Janji."

"Sebenarnya aku pernah diminta buat masuk Phantom Club sama ketuanya langsung," tuturnya lirih. "Sama Mr. I."

Ini menarik.

"Jadi kau tahu siapa Mr. I?"

Alin menggeleng.

Penonton kecewa.

"Aku cuma tahu dia lewat chat. Aku enggak pernah ketemu maupun lihat wajahnya. Nama akunnya Mr. I, dan dia enggak pernah ngasih tahu nama aslinya."

"Terus? Kau menerima permintaannya?"

Alin menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Soalnya mereka pembunuh."

Aku menelan ludah. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku chatting sama Mr. I sejak SMP kelas dua. Dia yang pertama nge-chat. Katanya dia suka postinganku di Ig dan Facebook. Awalnya kupikir dia cuma orang iseng ngajak kenalan, tapi lama-lama aku ketagihan ngobrol sama dia. Sama sepertiku, dia juga tertarik dengan sejarah kelam kota ini. Itu pertama kali aku ketemu orang yang bisa nyambung ngobrol sama aku dan sepemikiran denganku.

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang