Bagian 64: Devil Must Die

3.8K 567 219
                                    

Entah berapa hari tepatnya aku keluar dari rumah sakit dan semuanya kembali tenang. Tidak semuanya, sih. Azka dan warga desa Balongan masih sibuk bernegosiasi soal pemindahan rumah mereka. Paling tidak, mereka tak perlu cemas akan preman. Tomcat sudah bubar. Darto dan antek-anteknya tewas, sisanya dipenjara, sementara Jerry masih koma sampai sekarang.

Rendy dan keluarganya mendapatkan semua yang mereka inginkan. Pengaruh mereka di Petanjungan semakin kuat setelah semua pesaingnya hancur. Rendy menjadi ketua OSIS, tapi sisi positifnya, ia membiarkan Klub Jurik beroperasi di bawah naungannya. Ia bahkan membantu menyediakan sarana dan prasarana kami sebagai 'tanda terima kasih' untukku.

Tentu saja, masih ada yang membenci Prakoso. Banyak yang ragu bahwa mereka takkan mengulang kesalahan yang sama. Melihat tabiat Rendy, kupikir dia bersikap baik padaku agar bisa memperalatku lagi. Namun, aku tak peduli pada hal yang belum tentu terjadi. Yang penting aku bisa naik kelas, Klub Jurik tetap bertahan, dan penjualan majalah kami sukses tanpa ada yang merasa terancam.

Tinggal satu hal yang ingin kupastikan.

Matahari senja membentuk bulatan sempurna di ufuk barat. Beberapa orang menggelar doa bersama di halaman Pondok Kamboja. Alat-alat berat telah menghancurkan bangunan bekas panti asuhan itu hingga rata dengan tanah. Setelah tempat itu bebas dari preman, rencananya Grup Prakoso akan membangun pabrik di situ juga.

Lalu-lalang kendaraan di Jalan Kamboja lebih ramai daripada biasanya. Di atas jembatan menuju pondok, seorang gadis berdiri sambil memeluk boneka domba. Ia tampak melamun.

"Sedang bernostalgia?" tanyaku.

Poppy tersentak.

"Grey! Astaga, kukira siapa."

Wajahnya selalu tampak begitu muda.

"Mereka mantan penghuni panti ya?" ucapku merujuk pada orang-orang yang sedang berdoa.

"Uh-huh."

"Kenapa tidak ikut? Kau mantan anak panti juga, 'kan?"

Ia mendesah. "Karina ngasih tahu kamu, ya?"

"Tidak. Aku cuma kepikiran. Kau pernah bilang ibumu masih SMA saat melahirkanmu. Aku pernah baca artikel bahwa tahun ini adalah tahun kedua puluh pernikahan orang tuamu. Spanduk di foto pernikahan orang tuamu menunjukkan bahwa ibumu sudah dapat gelar sarjana saat menikah. Jika ibumu saat ini adalah ibu kandungmu, dan beliau melahirkanmu sebelum jadi sarjana, berarti umurmu sekarang sudah lebih dari dua puluh tahun. Tak mungkin kau seumuran dengan anak SMA pada umumnya jika Agni Prakoso adalah ibu kandungmu."

"Apa aku kelihatan tua, Grey?"

"Sayangnya, tidak."

"Mmm, kok pakai sayangnya segala?"

"Kemungkinan kedua, kau diadopsi. Ibu kandungmu melahirkanmu saat masih SMA. Karena malu, ia menitipkanmu ke panti asuhan. Lalu orang tuamu yang sekarang mengasuhmu. Itu lebih masuk akal kalau kau memang seumuran denganku."

"Terus kenapa kamu bisa tahu kalau aku dari Pondok Kamboja?"

"Aku kagum kau bisa tahu arah di dalam Pondok saat gelap seolah kau sudah hafal denahnya. Kau bilang 'ada api dari ruang makan'. Bagaimana kau tahu itu ruang makan? Setahuku tak ada benda di ruang terbakar itu yang mewakili ruang makan, kecuali kau tahu fungsi ruangan itu sebelum pondok ditinggalkan."

"Yay, seratus buat Grey!"

Aku tak paham kenapa dia gembira.

"Selain itu, kau ke sini untuk mengambil sesuatu, 'kan?" tanyaku.

"Apaan?"

Aku melirik boneka domba di pelukannya. Tangannya tampak basah seperti baru dicuci, tetapi noda tanah masih menempel di bonekanya.

Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now