2. Terpilih

20.1K 1.4K 46
                                    

"Kamu beli novel apa aja, Sha?"

"Ah ini, biasalah novel fantasi."

"Kayaknya itu ada dua, deh. Dua-duanya fantasi juga, ya?" Rista menghela napas. "Kau ini fantasi terus pikirannya. Sesekali baca fiksi remaja, kek. Biar nggak imajinasi terus pikirannya."

Aku hanya menyengir lebar. "Aku lebih suka fantasi daripada fiksi remaja."

Sebentar.

Kalau dipikir-pikir, Rista bisa melihat buku ini?!

Hah?!

"Ris!" panggilku. Dia menautkan alisnya seperti bertanya, 'apa?' secara non-verbal.

"Kamu bisa melihat buku ini?" tanyaku sambil menunjukkan buku bersampul coklat ini.

Dia memutar bola matanya malas. "Ampun, deh Sha. Mataku tidak buta, ya. Tentu saja aku bisa melihatnya," jawabnya seolah merasa tersindir.

"Tidak, Ris harusnya kamu tidak bisa melihatnya!" kataku dengan serius.

"Apa maksudmu? Jadi kamu pikir cuma kamu yang dapat melihatnya, begitu?"

"Iya!"

Dia tertawa. "Aku tidak menyangka kau bisa memiliki selera humor juga, Sha."

Dia menepuk bahuku. "Ini sebabnya aku suka melarangmu membaca fantasi terus. Pikiranmu jadi aneh," lanjutnya.

He-hei! Dia tidak percaya?

"Aku tidak bercanda, Rista! Sungguh!" kataku berusaha meyakinkan.

Tapi ya begitu. Rista selalu saja mengandalkan logika untuk berpikir. Padahal aku selalu saja menasehatinya bahwa terkadang diperlukan juga mengandalkan hati untuk berpikir.

Seperti sekarang, dia tetap tidak percaya.

Menyebalkan!

Dia melipat tangannya di depan dada. "Kau ini sahabatku, jadi aku selalu percaya padamu. Tapi sekarang, buktikanlah agar aku percaya."

Ingin sekali aku mengumpat kasar di hadapannya.

Aku menghela nafas kesal. "Baiklah, lihat baik-baik ya!"

Aku berdiri dari tempat dudukku yang digunakan untuk menunggu ketika film-nya belum dibuka. Aku memberhentikan orang lewat sebentar. Uh, memalukan sekali!

"Permisi, Kak saya mau nanya sebentar, boleh?" tanyaku dengan sopan pada kedua remaja yang sedang uhuk berpacaran.

"Ada apa ya, Dek?" tanya yang perempuan.

Aku langsung mengeluarkan buku kuno ini dan menunjukkannya tepat di depan mata mereka berdua. "Apa Kakak melihat buku ini?" tanyaku.

Mereka saling berpandangan lalu menautkan alisnya. "Eum ... buku mana ya, Dek?" tanya yang lelaki.

Aku menatap Rista dengan tatapan 'lihatlah siapa yang benar kali ini!'

Rista tampak melotot lebar tak percaya.

"Ah, tidak, Kak. Tidak jadi," kataku lalu menyengir lebar. "Terima kasih, Kak. Maaf mengganggu," pamitku lalu pergi dari hadapannya.

Ventiones Academy [REVISI]Where stories live. Discover now