37. Kakak?

4.3K 353 7
                                    

"Hei, menurutku ini tidak adil. Tiga lawan dua, mereka kalah jumlah," ucapku sambil menyerang Jonathan dengan kekuatan apiku yang masih sedikit kurang terkendali.

Hei, wajar saja. Aku baru saja sembuh dari kejadian kebakaran taman itu, kan? Jadi wajar saja kalau kekuatan apiku belum terkendali dengan baik.

Kudengar Rista berdecih dengan keras. "Di dalam keadaan seperti ini, kita tidak akan memikirkan jumlah lawan ataupun kawan. Yang penting kebenaran tetap menang!" ucap Rista yang kelihatannya begitu yakin.

Tapi, ini sama saja keroyokan, kan namanya? Tidak adil, dong. Kalau kita benar, kita tidak mungkin keroyokan seperti ini menyerangnya.

"Kau merasa dirimu benar, Rista?" tanya Jonathan lalu tertawa dengan keras, "tidak! Bagiku, kau memihak yang salah, dan akulah yang benar!" lanjutnya.

"Kau ini bodoh atau apa? Yang namanya kegelapan sudah jelas jahat, tidak bisa dipungkiri lagi, tahu!" ucap Rista.

"Tapi tetap saja, tidak adil jika kita menyerangnya seperti ini," cibirku.

Tapi, hei. Sungguh, aku sendiri masih kurang setuju bagian kalimat 'kegelapan itu sudah pasti jahat'. Apa-apaan itu? Siapa yang menciptakan kalimat itu? Jahat sekali.

"Hei dengar, ya, umurmu saja masih tiga belas tahun. Bergaya seolah-olah umurmu sepantaran dengan bocah sialan itu!"

Kulihat Rista menunjuk Jonathan dengan dagunya.

Jonathan melotot tajam pada Rista. "Memangnya umurmu sendiri berapa sampai mengata-ngatai orang lain bocah, huh?! Kau pikir kau lebih tua dariku, huh?!" tantang Jonathan.

Oh, sepertinya perdebatan ini bukanlah suatu hal yang baik. Jadi lebih baik aku menyimaknya saja sambil fokus pada lawanku.

Rista berdecih. "Tua, kok bangga? Paling muda dan hebat, tuh harusnya bangga," guman Rista.

Uhuuu ... berani sekali dia. Aku tak pernah menyangka bahwa Rista akan tumbuh dewasa dalam secepat ini. Aku benar-benar salut padanya.

Tapi, itu tidak sopan. Kulihat sepertinya Jonathan memang lebih tua daripada Rista, dan Rista sudah berkata yang tak pantas. Itu sama saja tidak sopan, kan? Dan itu tidaklah baik.

Tiba-tiba aku mendengar seseorang berdeham di samping kananku, dan aku langsung menoleh ke arahnya. 

"Memangnya kau sendiri tidak pernah mengata-ngatai orang yang lebih tua darimu, hm?" ucap si Monster Es sambil terus menyerang Kak Rey.

Aku terdiam.

Oh iya, aku, kan sering mengata-ngatai Monster Es dan si Tuan Berantakan itu. Tapi, bagaimana Monster Es itu tahu? Apakah dia peramal?

Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang memukul punggungku lalu mendorongnya. Alhasil, tubuhku terpental jauh dengan sedikit darah keluar dari mulutku.

"Uh, sial!" umpatku.

Sialan sekali dia. Menyerangnya dari belakang.

Dasar pengecut!

Menyebalkan!

Tak berguna!

Keparat!

"Siapa bilang tiga lawan dua, gadis kecil? Sekarang jumlahnya seri," ucap gadis itu sambil menyeringai.

Baiklah, apa aku bermimpi sekarang? Bermimpi melihat bidadari mengikuti medan pertempuran seperti ini? Bagaimana bisa bidadari itu ada di sini?

Tapi, siapa bidadari itu? Apa yang diberikan The Blackest Dark  itu kepada bidadari ini sehingga dia mau ikut ke medan pertempuran seperti ini, huh?

Ventiones Academy [REVISI]Where stories live. Discover now