40. Yakin Selesai?

5.8K 381 24
                                    

Sudah revisi

****


"Jadi, Hars. Istirahatlah dengan tenang. Aku tahu kamu lelah, Hars ... jangan memaksanya. Kalau kamu memaksanya, aku yakin Ratu Amandi tidak akan senang melihat ini," ucapku.

"Bahkan aku yakin saat ini pasti Ratu Amandi sedang melihatmu dari atas sana. Dia pasti sangat sedih melihatmu menyerang salah satu keluargamu sendiri," lanjutku.

Padahal aku sendiri sungguh tak yakin kalau Ratu Amandi benar-benar memperhatikan Hars—aku tak tahu harus memanggilnya apa—dari atas sana.

"Jangan mencoba untuk menghasutku! Aku tahu kau sedang berbohong padaku untuk menghasutku!" bentak Hars kesal.

Aku menggeleng pelan. Satu pertanyaan dariku. Untuk apa aku berbohong jika aku sendiri sudah rela mengorbankan diriku untuk beristirahat bersamanya?

Untuk apa?

Lagipula, dia dan aku bernasib sama, bukan? Kami sama-sama Anak Terkutuk. Sama-sama tidak layak untuk terlahir di dunia ini. Jadi, untuk apa kami masih hidup di sini?

Tak lama kemudian, aku mulai merasakan aura terharu dan kasihan dari seluruh orang di sini. Tapi sebagian dari mereka juga masih saja membenciku dan Hars.

Padahal, salah kami apa?

Kami hanyalah korban dari kisah cinta yang menjijikan itu! Benar, kan? Tapi, kenapa kami yang harus dibenci?

Kenapa tidak orang tua kami saja? Bukankah penyebab terlahirnya aku dan Hars disebabkan oleh mereka? Kenapa bukan mereka saja yang dibenci? Kenapa harus kami?

Tapi, untuk apa juga menyalahkan mereka? Toh, mereka juga sudah tiada. Menghilang dan menyisakan korban dari cinta mereka yang terlarang. Jadi, tidak ada gunanya aku menyalahkan mereka. Benar, kan?

"Kau tahu, Hars? Kita berdua itu sama. Sama-sama terlahir menjadi Anak Terkutuk. Seharusnya makhluk seperti kita tidak terlahir di dunia ini," lirihku sambil menunduk.

"Dan kau tahu, Hars? Tadinya aku berfikir bahwa ini salah orang tua kita. Mereka hanya berfikir bahwa mereka saling mencintai lalu menikah, dan mereka tidak memikirkan bahwa jika mereka punya anak, akan terlahir seperti apa anak itu. Mereka begitu egois. Itulah pikiranku tadi, Hars," lanjutku. 

Kemudian aku mengangkat wajahku. Aku mencoba menatap Hars dengan pandangan berkaca-kaca.

Hei, apa aku menangis?

Kulihat Hars hanya terdiam. Ia terdiam sambil terus memandangiku. Aku tidak bisa mengerti tatapannya, karena ia tidak tersenyum miring ataupun menangis—aku bahkan ragu dia akan menangis lagi setelah menjadi jahat.

"Tapi setelah dipikir-pikir kembali, untuk apa aku menyalahkan mereka? Mereka juga sudah tiada, bukan? Jadi untuk apa menyalahkan mereka? Tapi, kalau bukan mereka yang salah, lalu salah siapa, Hars?! Katakan! Salah siapa?!"

Tak terasa di akhir kalimat, suaraku justru semakin tinggi. Bodohnya aku baru menyadarinya sekarang, setelah aku melontarkan kalimat-kalimat itu.

"Salah mereka yang melemparimu dengan batu itu, huh? Salah mereka yang telah mencacimu itu? Atau salah mereka yang telah membunuh Ibu asuhmu itu, hah?!"

Hars masih saja terdiam, bahkan sepertinya aku merasa seluruh orang di arena pertempuran ini ikut terdiam. Ternyata, pelindung ini tidak kedap suara. Padahal tadinya kukira pelindung ini kedap suara.

"Kau tahu, aku memang tidak mengetahui masa laluku. Tapi aku merasakannya. Aku merasakan hal yang kau rasakan, Hars. Dan setelah dipikir-pikir, untuk apa menyalahkan mereka? Kalau kita berada dalam posisi mereka, kita pasti akan melakukan hal yang sama, bukan? Karena, siapa yang mau berteman dengan Anak Terkutuk? Pasti tidak ada. Kalau pun ada, pasti mereka akan ikut menderita seperti kita. Benar, kan?"

Ventiones Academy [REVISI]Where stories live. Discover now