4. Persiapan

15.2K 1K 20
                                    

Jika kau melihat kertas ini, itu tandanya kau sudah membacanya sampai akhir. Aku tidak tahu kau sungguhan membacanya atau tidak, tapi lebih bagus kau membacanya dengan sungguh-sungguh.

Karena jika kau sudah mengerti, itu akan membuat perjalanan hidupmu menjadi lebih mudah.

Aku mengundangmu, Allysha Dwikels Anderson kemari.

"Selamat Anda diterima untuk bersekolah di Ventiones Academy."

Sebentar, apa aku masih waras?

Aku gila tidak?

Ada apa ini?

Tadi aku pulang sekolah, lalu membuka buku kuno itu berniat melanjutkan membacanya.

Ketika sudah membaca semuanya sampai selesai—ya meskipun masih banyak yang tidakku mengerti tapi aku tetap melanjutkannya—keluarlah kertas di halaman buku yang terakhir.

Kalau saja kertas itu tidak tertulis namaku, sudah kujamin aku akan langsung menjadikannya pembatas buku ini.

Tapi, apa ini?

Ah, hidupku sekarang menjadi sangat rumit. Semuanya tidak bisa dicerna oleh logikaku sendiri. Aku tahu aku jarang menggunakan logika, tapi ini sudah melewati batas.

Ini seolah aku adalah tokoh utamanya di sini. Tokoh utama manusia biasa yang tiba-tiba diterima untuk bersekolah di academy sihir. Ya, aku memang belum tahu itu academy jenis apa.

Tapi jelas tidak mungkin 'kan kalau itu academy militer? Guru olahragaku saja tahu kalau aku ini payah sekali dalam pelajarannya. Bagaimana bisa tiba-tiba aku diterima di sekolah academy militer?

Yang ada aku sudah dianggap gila sungguhan.

Lalu academy apa itu? Apa aku sungguh seperti tokoh-tokoh dalam cerita fantasi kebanyakan? Apa aku akan menjadi penyihir ternama? Apa aku akan memiliki kekuatan?

"Allysha."

Ayah memanggilku? Ada apa?

Aku beranjak dari kasurku lalu berjalan menuju pintu kamar. Aku mulai membuka pintunya dan melihat Ayahku sudah berada di depan kamarku sambil tersenyum.

"Makan, yuk?"

"Hm?" Ayah kenapa?

Aku melirik jam yang ada di pergelangan tanganku. Sebentar, ini masih jam empat sore, kenapa Ayah tiba-tiba ngajak makan?

"Masih sore, Ayah. Kenapa tidak nanti malam saja?"

"Lalu kapan waktumu untuk menyiapkan barang-barangmu?"

"Hah?"

Ayah maju beberapa langkah mendekatiku. "Kau sudah besar, ya. Ayah bangga menjadi ayahmu." Ayah mengelus puncak kepalaku dengan lembut dan mengecupnya lama.

Apa ini? Perpisahan?

"Ayo, Bunda udah ke depan tuh nungguin."

"Tapi Ayah, aku belum ganti baj—"

"Ini makan malam biasa, Sayang. Tidak perlu memakai baju yang berlebihan. Kau seperti ini saja sudah cantik."

A-ayah kenapa sih?

Aku malu tahu.

"Ayo!" Ayah menarikku dan aku hanya pasrah saja. Masa bodo dengan pakaianku kali ini.

Ternyata Ayah memang hanya mengajakku makan bakso di rumah makan langganan Ayah. Aku jadi senang sekali. Karena itulah makanan favoritku, hehehe.

Ventiones Academy [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang