Delisha Rafailah Maryam

61.8K 7K 718
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Delisha baru saja menginjakkan kakinya di bandara Soekarno-Hatta saat retina matanya menangkap sosok kedua orangtuanya dan adiknya yang ternyata sudah menunggu ke datangannya di bandara. Rasa bahagia bercampur takut berkecamuk di dalam relung hatinya. Bahagia karena Allah masih memberinya ijin untuk dapat berjumpa dengan kedua orangtuanya dan adiknya yang sangat dia sayangi dan cintai. Namun, takut karena dia sangat yakin kalau Ayahnya tersayang pasti akan marah padanya karena kembali ke tanah air tanpa ditemani oleh Uwaknya.

Alasan apa yang harus dia ucapkan pada Ayahnya agar Ayahnya tak memarahinya. Apa harus dia menceritakan tentang mimpi buruk yang terus saja menghantuinya hingga membuat dia akhirnya memilih pulang secara tiba-tiba hingga membuat Uwaknya yang baik hati tak bisa mengantarnya pulang karena kepulangannya bertepatan dengan hari Uwaknya ditugaskan keluar kota dan tugas itu tidak bisa Uwaknya tinggalkan.

Ketakutan yang Delisha rasakan berganti haru saat Ibunya memeluknya dengan sangat erat sambil menangis dan tentu dia pun ikut menangis.

"Kamu membuat Umi takut," ucap Ibunya disela isak tangisnya.

"Maafin Delisha," hanya itu yang mampu Delisha katakan. Dia menenggelamkan wajahnya di bahu kanan Ibunya. Tangisnya tidak terbendung saat ia mengingat kembali mimpi buruk tentang ibunya yang sudah terbungkus kain kafan. Dia belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap untuk mengalami kiamat kecil itu. Andai Allah berkenan ingin rasanya dia meminta pada Allah agar dialah yang terlebih dulu mengalami kematian itu jangan ibunya. Namun, hal itu tentu tak dapat dipinta. Maut, rejeki, dan jodoh sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah telah menentukan takdir hambanya jauh sebelum hambanya dapat menikmati keindahan hidup di dunia.

"Abi juga punya hak untuk kamu peluk Delisha. Apakah kamu tidak mau memeluk Abi?" ucap Danang, Ayah Delisha sambil membelai pucuk kepala Delisha dengan penuh sayang.

Delisha mencium kedua pipi Ibunya sambil berucap, "Delisha sayang Umi..  Semoga Umi selalu diberi kesehatan dan umur yang berkah oleh Allah."

Citra membalas ciuman putrinya, "Aamiin.." jawabnya dengan suara yang getir. Ada luka yang terpancar dari matanya yang indah. Namun kegetiran itu memudar saat tangan kirinya digenggam oleh Danang. Suaminya, Imamnya, Sang Kekasih Hatinya, dan Sahabat terbaiknya yang sudah setia menemaninya di kala suka maupun duka.

"Peluk Abi," tangan kanan Danang membawa tubuh Delisha ke dalam pelukannya, "Apa kamu merindukan Abi."

"Sangat," jawab Delisha. Dia menenggelamkan wajahnya di dada Ayahnya yang bidang. Dan dia kembali menangis. Hari ini dia benar-benar telah menjadi gadis yang sangat cengeng. Ini bukan kali pertama dia kembali dari luar negeri. Empat tahun lebih dia tinggal di luar negeri dan sudah sebanyak tujuh kali dia bolak-balik Madinah Jakarta namun tidak tahu kenapa kepulangannya kali ini membuatnya merasa sangat terharu.

"Benarkah?" tanya Danang sambil mengecup pucuk kepala buah hatinya.

Delisha mendongakkan wajahnya, "Kepulangan Delisha bukti nyata kalau Delisha rindu Abi, rindu Umi dan rindu Reza... Abi ti..tidak marah kan sama Delisha?"

"Marah kenapa?"

Dengan suara yang sangat pelan Delisha menjawab pertanyaan Ayahnya, "Delisha pulang sendirian."

"Apakah Abi pantas marah atas keputusan yang kamu ambil?"

Delisha terdiam. Bingung mau menjawab apa.

Reza yang sedari tadi diam akhirnya ambil suara. Dengan santainya dia berucap, "Abi tidak pantas memarahi Kak Delisha. Sekarang kan sudah jaman modern. Sudah tidak jaman anak perempuan harus terus-terusan dikawal oleh Ayahnya atau saudara laki-lakinya saat berpergian. Kecuali kalau Kak Delisha pergi ke Negera yang sedang terlibat peperangan atau ke tempat dimana tingkat kejahatan masih sangat tinggi. Benarkan jawabanku?"

Shalawat Cinta Delisha | S1 & S2 | ENDWhere stories live. Discover now