Ketenangan Hati

40.6K 5.6K 438
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Bagaimana Delisha? Abi dan Ummimu sudah menerima lamaranku apa kamu pun menerima lamaranku?" Adnan bertanya langsung pada Delisha yang sudah duduk manis di samping Danang sambil menundukkan wajahnya, "Apapun jawabanmu aku akan menerimanya."

Delisha melirik ke arah Sadewa yang tengah menangis di dalam gendongan Citra. Apakah Sadewa sudah mampu memahami situasi ini? Apa permintaan yang Sadewa ajukan sama halnya seperti dia tengah meminta mainan atau permen dan coklat? Kalau tidak dituruti akan menangis namun besoknya akan baik lagi dengan sendirinya. Delisha harap begitu. Sadewa pasti tidak bersungguh-sungguh memintanya untuk menikah dengan Arion. Lagi pula bila pun Sadewa bersungguh-sungguh memintanya untuk menikah dengan Arion, Delisha akan secara tegas menolaknya. Kenapa? Karena Arion sama sekali bukan tipe calon suami yang tengah dia cari.

Dia ingin memiliki suami yang paham ilmu agama, penghafal Al Qur'an dan mencintai Allah dan Rasulnya melebihi apapun. Dan Delisha rasa Adnan lah yang memiliki ketiga hal itu. Lantas apa lagi yang sekarang dia pikirkan hingga sulit baginya untuk mengucapkan iya atau menganggukkan kepalanya tanda kalau dia menerima lamaran Adnan. Bukannya tadi dia sudah bilang pada Ibunya kalau dia menerima lamaran Adnan tapi kenapa ketika berhadapan langsung dengan Adnan dia malah tidak bisa memberikan respon apa-apa. Terlalu gugupkah? Atau keraguan masih menyelimuti hatinya?

"Delisha," dengan lembut Danang menyapu bahu Delisha, "Adnan menunggu jawabanmu."

Delisha menarik nafas pelan, perlahan dia mengangkat kepalanya. Untuk pertama kalinya dia menatap wajah Adnan secara intens, setelahnya dia kembali menunduk. Senyum tipis menghiasi bibirnya yang tertutup cadar ketika dia merasakan hatinya berdesir. Tanda kalau ada sesuatu yang dia rasakan saat menatap Adnan.

"Bagaimana Delisha? Apa kamu menerima lamaranku?" tanya Adnan untuk kedua kalinya.

"A..aku menerima lamaran Kak Adnan," jawab Delisha dengan suara yang terpatah-patah karena gugup.

Kalimat syukur terukir dari hati-hati yang kini tengah dilanda kebahagiaan atas keputusan Delisha.

Adnan tersenyum lembut, "Terimakasih Delisha."

Delisha hanya mengangguk. Setelah itu dia pamit untuk undur diri, dia hendak kembali ke kamar, namun urung saat Ibunya memintanya untuk duduk di sofa yang ada di ruang keluarga.

"Sadewa mana Ummi?" tanya Delisha pada Ibunya yang juga ikut duduk bersamanya.

"Dengan Reza di kamar. Oh iya mungkin malam ini juga Adnan harus kamu ijinkan untuk melihat wajah kamu," ucap Citra sambil menyentuh tangan putrinya.

Mata Delisha membulat sempurna, "Delisha.. harus membuka cadar di depan Kak Adnan?" Sampai detik ini Delisha tidak pernah membuka cadarnya di depan laki-laki kecuali di depan Ayah, Reza dan Sadewa. Bahkan di depan Uwanya (Kakak Ayahnya)pun dia tidak berani. Masa sekarang dia harus membuka cadarnya di depan Adnan yang baru saja berstatus menjadi calon suaminya.

Citra mengangguk, "Iya sayang. Kamu harus menunjukkan wajah kamu pada Adnan. Seharusnya proses ini dilakukan sebelum lamaran. Ummi dan Abi sudah menawarkan itu pada Adnan, namun Adnan menolaknya dengan alasan dia ingin melihat wajahmu dikala kamu sudah menerima lamarannya karena menurut dia hal itu akan membuat hatinya lebih tenang."

Kedua tangan Delisha berkeringat dingin, "Bi..bisakah nanti saja buka cadarnya kalau..."

"Kalau apa?"

Shalawat Cinta Delisha | S1 & S2 | ENDOù les histoires vivent. Découvrez maintenant