Cokelat

7.2K 992 52
                                    

KARA

Aku menggigit kuku-kuku jariku dengan gelisah, kakiku bergerak tak sabar sampai kursi yang aku duduki pun berdecit tidak jelas. Dua jam, operasi Mom sudah dua jam berlalu tapi belum ada satu orang pun yang bisa memberitahukan kondisinya saat ini.

"Astaga..." aku berdiri dan berjalan menuju pintu, mengintip mungkin ada seseorang yang baik hati mau memberitahukan kondisi Mom atau mungkin mengizinkan ku untuk ikut masuk ke dalam.

"Mom pasti baik-baik saja... ya... pasti baik-baik saja..." ucapku sambil menumpukan dahiku di pintu ruang operasi.

"Tapi siapa yang menjamin biaya operasi Mom?" mataku terbuka dan kembali aku melihat lorong menuju ruang operasi yang sepi.

"Miss Kara..."

"Astaga!" aku melompat kaget saat mendengar suara yang tiba-tiba mengangetkanku dari belakang.

"Maaf, membuat anda kaget..." begitu melihat siapa orang yang menyapaku, spontan aku mundur satu langkah.

"Apa?! Mau menculikku lagi?!" bentakku galak.

"Aku akan berteriak jika-"

"Cokelat hangat untuk anda..." potong pria asing itu sambil mengulurkan kantong kertas berwarna cokelat, tapi sebenarnya dia bukan pria asing karena pria itu pernah menculikku dan kami beberapa kali pernah bertemu.

"Buat apa beruang pemarah itu perhatian padaku?" aku mendengus kesal dan mengabaikan Jaquen yang mengulurkan tangannya padaku.

Langkahku terhenti saat aku melihat di bangku tunggu di ruang operasi yang tadi hanya ada aku kini dia disana duduk sambil memasukkan satu tangannya ke mantelnya, sementara tangan satunya memegang cup kertas yang terlihat mengepulkan asap putih tipis.

"Miss Kara..." aku menoleh saat Jaquen memegang tanganku dan memaksaku untuk menerima kantong kertas berisi cokelat hangat.

"Harap diterima... tuan Abercio sangat kawatir..." aku menaikkan alisku dan terkekeh.

"Kawatir? Kau bercanda denganku!" seruku kesal dan menendang kaki Jaquen. Kurasa itu tidak cukup untuk menghukumannya karena berani-beraninya dia menculikku.

"Maaf..." aku mendengus kesal dan berjalan mendekati Aber yang duduk diam menikmati kopinya. Yeah, aku yakin itu kopi hitam. Kopi kesukaanku, heran kenapa kami mempunyai kesukaan yang sama.

"Jangan besar kepala..." itu kata-kata sambutan Aber saat aku berdiri tepat dihadapannya.

"Aku hanya bersikap baik selayaknya calon suami pada umumnya..." aku mendesah kesal begitu dia berbicara sambil tersenyum seperti itu. Ditambah selalu saja mengatakan soal pernikahan dan calon suami yang baik. Memangnya siapa yang mau menikah dengannya. Pria egois dan suka memaksa.

Egois? Memaksa? Aku rasa itu hanya akan diucapkan wanita sepertiku, wanita yang tidak mencintai pria yang selalu menyebut dirinya calon suami.

"Kemarilah..." aku mendesah lelah dan duduk disampingnya. Hari ini aku lelah berdebat dengannya, apakah bisa sekali saja kami tidak berdebat? Maksudku selain malam itu kami selalu berdebat tidak jelas.

"Ini..." aku menoleh pada Aber yang menyodorkan amplop cokelat padaku.

Aku heran kenapa banyak sekali yang berwarna cokelat.

"Ini apa?" aku mengerutkan dahiku curiga padanya.

"Perjanjian yang harus kau tanda tangani..." aku melirik amplop cokelat itu dan menatap Aber.

"Perjanjian pernikahan kita..." aku memutar mataku jengah dan kesal. Aku membuka kantong kertas berwarna cokelat ditanganku yang berisi cokelat hangat dan menegukkan, mengabaikan Aber yang menyodorkan amplop cokelat itu.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang