Dear Biru 11

6.3K 725 47
                                    

Dear Biru : apa rasanya menanggung sakit sendirian?

***

          Seperti terlalu banyak yang terjadi belakangan ini meski sebenarnya bukan urusan Tito, namun ia merasa ikut bertanggung jawab. Grey dan Navy juga keluarganya, jadi saat mereka terkena masalah, maka Tito tak pernah berkeberatan jika harus kebagian bebannya juga. Apalagi jika di bandingkan dengan yang Grey sudah lakukan untuknya. Yang Tito lakukan tidak ada apa-apanya sama sekali.

          Tito terduduk di depan televisi yang menyala namun fokusnya malah berpusat pada tiga buah kartu atm di tangannya. Itu bukan punyanya, itu punya Grey. Semua uang yang telah lelaki itu tabung ada disana. Sebegitu takutnya Grey kalau ia tak akan bisa lagi menjaga Navy, akhirnya Grey memberikan kartu-kartu itu kepada Tito untuk segala keperluan Navy. Sepercaya itu Grey pada sahabatnya meski Tito sempat menolak, karena lagi-lagi Tito ingin memberikan alasan kepada Grey mengapa ia harus tetap bertahan dan berjuang.

          Untuk pulang. Untuk Navy.

          Namun keadaan kemarin begitu kacau. Meda menjebak Grey, ia bilang Grey harus menemuinya di tempat mereka biasa bertemu. Namun ternyata Meda tak ada disana. Lelaki itu justru pergi ke rumah Grey dan mengacak-acak semuanya. Sialnya saat itu ada Tito dan juga Atlas di sana. Mereka berdualah yang menjadi bulan-bulanan Meda dan anak buahnya. Sejujurnya target Meda adalah Navy, harta paling berharga yang Grey punya.

          Meda terlalu paham bagaimana cara menghancurkan Grey.

          Jadilah saat itu Tito terpaksa menerima kartu-kartu itu.

          Tito meletakan kartu-kartu itu diatas meja sebelum bangkit dari sofa menuju kamar diarah barat. Ia membuka pintu hitam itu perlahan tak ingin mengganggu seseorang yang sedang tidur di dalam sana.

          Meski tak ada penerangan dari dalam kamar, namun Tito dapat melihat anak lelaki itu berbaring menghadap kearah pintu, hingga cahaya dari luar langsung menyorot tepat kewajah lelaki itu. Ada lebam kebiruan di sudut bibirnya. Namun Tito bersyukur karena hanya itu luka yang adiknya terima, tidak sebanyak lebam diwajah Tito. Atlas memang lebih jago berkelahi daripadanya. Dan untuk itu Tito bersyukur.

          Lelaki itupun mengulas senyum sebelum menutup pintu itu. Kini langkahnya mengarah pada pintu arah timur, bersebrangan dengan kamar yang baru saja ia buka. Sekali lagi ia membuka pintu itu perlahan.

          Tito mendesah begitu seseorang di dalam kamar itu ternyata belum tertidur. Ia sibuk dengan ponselnya, menghubungi kakaknya yang sejak tadi nomornya masih juga tidak aktif, namun anak itu terus mencoba.

          "Tidur Nav." ujar Tito yang masih berdiri di frame pintu. Dan lagi-lagi Navy tak mengubrisnya. Memang sejak tadi anak itu tidak mau berbicara ataupun menjawab pertanyaan Tito.

          Tito mengangkat tangannya dan menarik rambutnya frustasi sebelum ia mengusap wajahnya jengah. Lelaki itu melangkah masuk dan duduk di pinggir kasur. "Nav, gak usah di tungguin, nanti Grey pasti kesini."

          "Kapan?" Ucapnya dingin tanpa menoleh sedikit pun.

          "Gue gak tau." Jawab Tito yang tentunya tidak diberi tanggapan lagi oleh Navy.

          "Nav, badan lo tuh udah kelelahan banget, apalagi sampe mimisan tadi. Lo tuh butuh istirahat." Lagi, tidak ada jawaban. Tito mendesah. Kalau saja situasinya sedang tidak seperti ini, Tito pasti sudah memarahi Navy karena anak itu memang apa-apa harus ada Grey saat manjanya kumat. Namun Tito bisa mengerti mengapa kali ini Navy benar-benar ingin Grey ada di sini, nyata, jelas di pandangannya. Anak itu khawatir. Sangat.

Dear BiruWhere stories live. Discover now