Biru yang Dulu Dikepalaku

4.7K 347 88
                                    

Redy akhirnya menghela napas lega begitu melihat adiknya—adik nakalnya—yang tadi tiba-tiba dikabarkan pingsan dan dibawa ke UKS. Namun melihat anak itu kini menyengir lebar kearah temannya yang sejak tadi menemaninya membuat kepanikannya sedikit luntur.  Hingga matanya bertemu pandang dengan milik adiknya, barulah ia melangkah masuk melewati tirai biru yang menyekat brangkar satu dengan lainnya.

"Abang ampun." Wajah anak itu berubah memelas sambil merapatkan kedua tangannya di depan wajah, membuat sahabatnya yang tadi ia ajak berbicara langsung menoleh kebelakang.

"Kenapa lagi dia Yes?" Aries, sahabat adiknya itu tersenyum jahil, "biasalah Bang, sok keren pake main basket segala. Padahal bisa aja enggak, kegebok dah tuh dia. Yaudah Bang, gue balik ke kelas dulu ya." Ujar Aries sebelum akhirnya meninggalkan mereka berdua.

Redy langsung memutar bola matanya, konyol, pikirnya. "Ada yang luka gak? Kalo gak ada biar gue tonjok sini." Ancam abangnya itu kesal, meski ia tidak bener-benar ingin menonjok adiknya. Di keluarga mereka, meski terdidik keras, tidak ada yang pernah berani menyentuh si bungsu. Memang bukan hanya karena sayang dan bukan juga karena hemofilia yang ia derita. Memang si bungsu ini adalah anak kesayangan di keluarga mereka.

"Bang ih. Kan gue cuma mau coba aja."

"Mau coba? Sini sama gue, biar gue sengajain lempar bola ke pala lo." Tipikal Redy, sedikit kasar dan terlihat cuek meski sebenarnya ia benar-benar sayang dengan adiknya itu.

"Galak amat sih." Redy tidak menjawab, lelaki itu menjulurkan tangannya dan menggerakan kepala adiknya perlahan ke kanan dan kekiri, memeriksa apakah ada memar di sana. Benar saja, ternyata ada lebam di pipi kirinya yang bahkan anak itu tak menyadarinya juga.

Redy berdecak, perasaannya campur aduk antara khawatir dan juga kesal, "mati gue nih sama Grey." Serunya sebelum melepaskan tangannya.

"Apaan sih? Gue gak luka kok."

"Itu pipi lo biru anjir."

"Hah?" Buru-buru anak itu langsung turun dari brangkar dan berjalan ke sudut ruangan dimana sebuah kaca cukup besar tergantung. Kini lelaki itu dapat melihat sendiri lebam biru keunguan di wajahnya yang seingatnya tadi belum ada. Laki-laki itu juga buru-buru membuka jaket yang melapisi seragamnya untuk melihat sikunya yang tadi ia gunakan untuk menahan tubuhnya yang terjatuh. Dan benar saja bagian itu membiru juga.

Redy yang melihatnya dari jauh semakin mendecak. Sesusah itu menjaga anak petakilan satu ini. Tangan Redy terangkat dan mengusap kepalanya sendiri. Sementara Adiknya, Navy, menoleh kearahnya dan menyengir lebar. "Hehe birubiru semua."

"Besok-besok main aja lagi tuh basket biar sekalian sampe berdarah." Sindir Redy yang semakin bertambah kesal. Pasalnya kakak mereka, Grey, benar-benar overprotective dengan si bungsu. Ia selalu menganggap Redy dapat menjaga anak itu di sekolah. Karena sekolah mereka satu yayasan dan gedungnya berdekatan, meski Redy sudah duduk di bangku SMA dan Navy masih SMP. Jadi jika ada sesuatu terjadi pada Navy, maka otomatis Grey akan memarahi Redy karena tak bisa menjaga adiknya itu.

"Lo jelasin sendiri ke Grey nanti. Gak mau tau gue, kalo sampe Grey ngomel lagi ke gue. Gue tambahin itu biru-biru di badan lo." Tanpa mendengar jawaban dari Navy, kakaknya itu tiba-tiba saja keluar dari UKS, pergi meninggalkan Navy begitu saja.

Anak itu mendengus, kadang dia juga tak bisa membedakan apakah Redy benar-benar sayang padanya atau hanya karena takut dengan Grey? Entahlah.

Navy langsung berjalan lemas kembali duduk diatas brangkar. Ponselnya ia tinggalkan di dalam tas, tadi kepalanya memang sempat sangat pusing sampai akhirnya tak sadarkan diri, namun ketika sudah bangun, ia merasa kondisinya lebih baik. Tapi ia malas untuk kembali ke kelas. Mungkin yang harus di lakukannya adalah menyusun ucapan apa yang nanti harus ia katakan kepada kakak tertuanya itu. Atau apa yang harus ia katakan kepada Redy agar anak itu tidak marah lagi.

Dear BiruWhere stories live. Discover now