Dear Biru 15

5.8K 634 44
                                    

Dear Biru : Tak perlu kau ambil bintang untukku, memilikimu saja sudah lebih dari cukup.

***

Lelaki itu masih fokus pada layar laptopnya memandangi deretan huruf yang membentuk sebuah list nama tentang siapa-siapa saja yang masuk kedalam sekolah itu. Namanya masih ada di urutan list lima puluhan. Ia mendesah, antara bersyukur dan khawatir menjadi satu. Ia takut terdepak dari list itu dan membuatnya tidak dapat masuk kesana.

Sebenarnya dapat nilai segitu sudah merupakan keajaiban untuk Navy dan bisa berada di list sekolah paling nomor satu didaerahnya benar-benar sebuah anugrah. Navy tidak terlalu pintar. Tidak seperti Nara yang cepat tanggap. Anak itu perlu berkali-kali latihan soal hingga ia bisa mengerjakannya. Navy memang berjuang sekali untuk kelulusan ini. Salah satu faktornya adalah Grey.

Ia tak ingin sampai masuk swasta dengan biaya tinggi. Mengingat kini ia hanya berdua dengan Grey. Meski warisan Ayahnya sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan mereka berdua. Ditambah Grey juga pernah bekerja dengan gaji yang tidak sedikit dan selalu ia tabung. Dan fakta lain bahwa berkerja dengan BigBos benar-benar menghasilkan banyak uang. Meski tentunya uang itu haram. Nyatanya mereka berdua tidak akan kesulitan dalam hal materi.

Namun yang ada di pikiran Navy, namanya uang dipakai, pasti akan habis. Terlebih biaya obat Navy yang tidak murah. Untung saja dokter belum menganjurkannya untuk kemo. Nyatanya hemofilia yang dialaminya lebih parah dari kanker itu sendiri.

"Gimana?" Navy langsung mengerjapkan matanya dan menoleh. Ia sampai lupa kalau orang yang sejak tadi ada di pikirannya masih duduk tenang di samping Navy. "Masih aman." Jawabnya.

"Nilai lo tinggi kok. Gak bakal kegeser jauh juga." Ujar Grey sebelum menyeruput kopinya. Mereka sudah kembali kerumah sejak 2 hari yang lalu, setelah Grey memastikan kalau semuanya aman. Hampir 24 jam, Grey berada di sisi adiknya itu. Tak ia biarkan Meda memiliki cela sedikitpun untuk menyentuh Navy.

"Apaan, udah lima enam nih. Besok jangan-jangan udah di tujuh puluh."

"Masa sih?" Grey memajukan tubuhnya ingin melihat, Navy pun mempermudah dengan menggeser layar laptopnya mendekati Grey. "Gila ya anak jaman sekarang pinter-pinter banget, nyemilin buku apa gimana dah?"

"Ya masalahnya itu sekolah favorit bang. Ya pasti yang daftar pinter-pinter." Grey mengangguk-anggukan kepalanya mengerti sebelum kembali menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Bang."

"Hmm?"

"Kalo misalnya gue kegeser terus gak masuk, gimana bang?" Tanya Navy serius. Anak itu sampai memiringkan tubuhnya, mengangkat satu kakinya keatas sofa menghadap kearah Grey.

"Ya mau gak mau."

"Mau gak mau apa? Daftar sekolah lain?"

"Nyogok." Mata Navy langsung melebar begitu mendengar ucapan Grey. Memang Grey bukan orang baik, namun sedikitpun ia tak pernah mengajarkan hal tidak baik kepada Navy. Bagi Navy, Grey adalah sosok panutan yang sempurna. Terlepas dari masalah BigBos dan lain sebagainya.

"Kok nyogok sih bang?"

"Ya mau gimana lagi. Atlas udah pasti masuk situ. Dan gue gak mau lepas lo tanpa pengawasan. Nara juga masuk situ kan?"

"Ya gak gitu juga kali bang." Navy terlihat akan mengambek, wajahnya sudah ditekuk dan anak itu kembali duduk lurus, tidak lagi menghadap kearah Grey dan menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Nav, gue mau tanya lo satu hal." Navy diam, tak mengubris ucapan Grey. Nampaknya anak itu benar-benar mengambek. Grey pun akhirnya memajukan wajahnya mendekati Navy hingga anak itu risih sendiri dan memalingkan wajahnya. "Ini kuping kan? Bukan gantungan kunci?" Grey menjewer pelan telinga Navy yang segera di tepis oleh anak itu.

Dear BiruWhere stories live. Discover now