Dear Biru 45

9.7K 634 187
                                    

"Lo jahat Nav! Semua ini salah lo! Kalo aja lo gak suruh gue berusaha moveon. Kalo aja lo gak minta gue pergi dari hidup lo. Kalo aja kita masih sama-sama. Gak akan semuanya jadi kaya gini."

Navy mengelus pelan bagian dimana ulu hatinya berada dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya genggenggam tangan Grey dengan cukup kuat ketika kakak satu-satunya yang ia miliki itu menuntunnya masuk kedalam rumah. Hanya berlangsung beberapa menit saja, karena setelahnya Grey langsung sigap menggendong Navy dengan kedua tangannya.

"Lo, sama Gefari tuh sama aja! Egois!"

Grey melangkah cepat menaiki beberapa tangga dan membuka pintu kamar Navy dengan sikutnya. Peluh keringat sudah membanjiri keningnya sedari tadi setelah keluar dari rumah Nana, wajah Navy benar-benar pucat total dan jalannya terseret-seret. Mungkin kalau saja Grey tak langsung menghampiri anak itu dan menuntunnya berjalan kedalam mobil, Navy pasti sudah ambruk sedari tadi.

Navy memang langsung ke rumah Nana selepas keluar dari rumah sakit. Ia hanya ingin memastikan kalau gadis itu baik-baik saja, namun ternyata tidak. Nana hancur, itu salahnya. Bahkan Navy sampai tak berani mengucapkan yang ingin ia ucapkan. Seperti 'gue sayang banget sama lo' atau 'move on Na, gue bentar lagi mati.' Tak ada yang bisa ia jelaskan, karena nyatanya. Nana tak bisa menerima semuanya.

Grey dapat melihat Navy menarik hembuskan napas sambil terpejam setelah ia baringkan tubuh lemas itu ke atas tempat tidur. Navy melarang Grey membawa anak itu kerumah sakit. Bukan dengan alasan kalau dia baik-baik saja. Namun Navy berkata kalau ia ingin jika hari ini adalah hari terakhirnya, ia ingin berada di rumah itu. Tempatnya tumbuh sedari kecil. Tempatnya besar bersama Ayah dan Kakaknya. Tempat ibunya menaruh harapan besar saat Navy masih berada di kandungan. Dan mungkin tempatnya untuk menghembuskan napas terakhir.

"Hei.." Grey mengelus lembut kening Navy yang tadinya terasa hangat, kini terasa begitu dingin. Rasanya sakit. Rasanya benar-benar sakit melihat adiknya sendiri merasakan kesakitan dan ia tak bisa melakukan apapun, selain berada disana.

Navy mengulaskan sebuah senyuman yang secara otomatis membuat air mata Grey mengalir. Ia ingat pertama kali Navy di lahirkan. Saat untuk pertama kalinya anak itu memegang tangan Grey dengan begitu kuatnya. Ada sebuah janji yang terselip ketika tangan itu tidak ingin di lepaskan. Bahwa Grey berjanji akan selalu menjaga adik kecilnya, dengan apapun, dalam kondisi apapun.

Grey ingat saat ia tak bisa ikut mengantarkan Mamanya ke peristirahatan terakhir. Ia hanya duduk di samping tempat tidur bayi Navy. Adiknya menangis. Tanpa jeda dan Grey hanya bisa diam sambil menepuk-nepuk penggung adiknya pelan.

Grey juga ingat pesan ayahnya sebelum diseret dan dipenjarakan hingga akhirnya pergi untuk selamanya. Sebuah pesan yang tanpa di titipkan pun, Grey akan melakukannya dengan suka rela. Menjaga Navy adalah tugas utamanya di bumi.

"Bang, jangan nangis."

Lelaki berkaus hitam itu langsung menggerakan tangannya yang bebas, mengusap air matanya dengan punggung tangan kemudian berkata, "Apaan sih, gak nangis gue."

Navy tersenyum. Dan Grey benci itu.

"Atlas bentar lagi kesini." Seru Grey membuat senyuman Navy bertambah lebar.

"Dia maafin gue?"

"Enggak." Grey tertawa kecil, membuat Navy ikut tertawa, namun hanya sebentar saja sebelum akhirnya keningnya mengerut kembali karena nyeri yang ia rasakan di perutnya kembali menyiksa.

Dear BiruWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu