Mengapa ia harus menuruni sifat sang ibu yang pemalu?

4.2K 505 28
                                    

"Selesai!"

Mata amethyst Raiden melihat plester bercorak bunga-bunga di siku, lengan, lutut, dan kakinya. Sebenarnya ia minder kalau harus memakai plester motif macam ini, namun tak tega mengatakannya. Apalagi setelah melihat wajah Hinata yang sumringah seperti itu.

"Maaf ya Raiden, aku tak punya plester motif lain." Anak lelaki yang memakai kaus berkerah tinggi berwarna ungu itu terperanjat saat Hinata menyadari gerak tubuhnya. Seketika Raiden langsung menggeleng dan menggerakkan kedua tangan tanda penolakan.

"Tidak usah minta maaf begitu... aku malah yang seharusnya berterimakasih padamu. Terima kasih karena sudah mengobati luka yang tak seberapa ini."

Senyum di bibir Hinata mengembang, "luka sekecil apa pun harus diobati Raiden, kalau tidak akan infeksi." Ucap Hinata sambil membereskan P3K ke dalam kotak.

Raiden menatap Hinata, anak lelaki itu memainkan jari malu-malu. Sebenarnya dia ingin berbicara lagi dan membuka topik, tapi entah kenapa urung dilakukan. Di saat seperti ini mengapa ia harus menuruni sifat sang ibu yang pemalu?

"Uhm, apa aku boleh memanggilmu dengan Hinata?"

Mendengar pertanyaan Raiden membuat Hinata menghentikan aktivitas. Wajahnya menoleh menatap Raiden heran. Kenapa ia terlihat sungkan untuk memanggil dengan nama kecil? "Kenapa tidak?"

"Aー itu karenaー"

"Kau dari keluarga bawah?" Raiden mengerutkan kening, keluarga bawah? Apa itu? Sepertinya dia belum pernah mendengar tentang keluarga bawah. Lama tak menjawab akhirnya terdengar suara helaan napas Hinata. "Sebenarnya aku tak suka dengan istilah keluarga atas dan keluarga bawah."

Otak Raiden berpikir keras, apa pula itu keluarga atas? Pengetahuannya tentang keluarga Hyuuga belum sampai sana. Sial, ia jadi tak tau apa pun.

Melihat Raiden yang terdiam membuat Hinata merasa salah bicara, segera ia menyelesaikan membereskan kotak P3K dan membetulkan posisi duduk menghadap langit.

"Raiden-kun, kau bisa memanggil aku dengan Hinata. Lagi pula sepertinya kita sepantar jadi tak masalah. Aku juga bukan seseorang yang gila hormat. Bukankah dengan saling memanggil nama kecil kita menjadi semakin dekat?"

Raiden tertegun, perutnya mendadak geli seperti ada sesuatu yang beterbangan. Jantungnya berdetak cepat dan pipi pun ikut memanas. Menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya, ia langsung mengerjapkan mata tidak santai. Kenapa sih tubuhnya ini?

"Oh iya habis ini aku akan pergi menangkap ikan di sungai dengan teman-teman, Raiden mau ikut?"

"Heh? Ah iya ikut. Aku mau ikut. Aku mau ikut kemana pun Hinata pergi."

Hinata terkikik geli, respons anak ini sangat lucu. "Raiden sangat imut. Apa boleh aku memanggil dengan Rai-kun?"

Lagi-lagi ada sesuatu yang beterbangan di perut Raiden dan itu membuatnya panik. Spontan ia menggeleng. "Aku mohon panggil aku dengan Raiden saja."

Raut wajah Hinata terlihat kecewa, namun ia tak bisa memaksa jikalau Raiden tak ingin dipanggil Rai olehnya. Hinata mengerti keputusan Raiden. "Baiklah, aku tak masalah. Kalau begitu aku ganti baju dulu ya. Kau tunggu di sini."

Raiden mengangguk, kemudian Hinata beranjak masuk ke dalam rumah. Selama menunggu Raiden kembali melihat suasana halaman belakang kediaman Hyuuga. Beberapa tempat masih sama, hanya pohon sakura tempat ia bersembunyi tadi sudah tidak ada. Kira-kira ini tahun berapa ya?

"Hey, siapa kau?"

Tubuh Raiden seketika membeku. Suara ini benar-benar tidak asing, walaupun yang versi tua lebih berat tapi Raiden kenal betul suaranya karena orang ini yang selalu memarahi selain sang ayah.

Dengan gerakan patah-patah Raiden menoleh ke arah sumber suara. Ia lalu tersenyum kaku sambil mengusap bagian belakang kepala canggung.

"Bonjour."

Sosok dengan rambut coklat panjang itu menatap Raiden menelisik. Mata amethyst-nya menilai dari ujung rambut dan ujung kepala. "Siapa kau? Jangan pikir aku tak tau kalau kau sedang menyapa dengan Bahasa Perancis ya. Cepat jawab!"

Raiden menepuk wajah secara mental, memang tak diragukan orang ini jenius sejak kecil. Sepertinya Raiden tak akan bisa berkelit. "Aku Raiden, kita sepupuan loh. Aku bahkan tau namamu, kau Neji 'kan?" Balas Raiden diiringi tawa tak jelas.

Nejiーsebagaimana Raiden menyebut namanya makin mengerutkan dahi. Dari mata anak itu memang ia seorang Hyuuga tapi dari bajunya... Neji tidak salah lihat lambang klan itu 'kan? Siapa tadi namanya, Raiden?

Mencurigakan.

Sebagai anggota keluarga bawah ia tau siapa saja yang berada di sana. Serta karena selalu bersama Hinata, ia pun jadi tau siapa saja anggota keluarga atas. Neji sangat yakin tidak ada anggota keluarga mereka yang bernama Raiden. Lagi pula... lambang klan itu bukan lambang klan Hyuuga.

"Oh kakak, sudah mau jalan?"

Raiden dan Neji menatap Hinata bersamaan. Gadis manis itu memakai kaus berwarna putih bergaris ungu dipadukan dengan celana selutut berwarna khaki. Di tangannya sudah ada ember dan jaring untuk menangkap ikan.

Merasakan aura yang aneh, Hinata lalu beralih menatap Raiden. Wajah anak itu terlihat pucat seperti telah melihat hantu. Apa yang terjadi selama ia pergi?

Terdengar suara Neji mendeham. "Ayo Nona Hinata kita pergi, yang lain sudah menunggu."

Hinata mengangguk. Dengan cekatan ia memakai sendal lilit berwarna biru tua. Setelah selesai ia langsung menuju Raiden yang sedari tadi hanya terdiam. "Raiden wajahmu terlihat pucat. Apa kau baik-baik saja?"

Dagu Raiden terangkat. Netranya memandang Hinata yang kini menatap khawatir. Kemudian, indera penglihatannya beralih menatap Neji yang tengah berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke saku. Dengan berat ia menelan ludah. Sudah sampai sini, persetan ini mimpi atau bukan, yang jelas ia tak ingin membuat ibunya sedih.

"Aku tidak apa-apa Hinata." Balas Raiden sambil tersenyum lembut. Melihat senyum Raiden yang menenangkan membuat Hinata tak kuasa untuk tersenyum.

"Kau lama sekali Neji."

Tak lama terdengar suara sosok lain. Suara bariton yang terdengar membuat Hinata dan Raiden langsung menoleh. Sebuah senyum lebar terukir di wajah Hinata. Sedangkan Raiden, entah bagaimana sekarang wajahnya.

Mendadak tubuhnya seperti bergerak sendiri. Dengan perasaan amarah yang entah muncul dari mana, Raiden mendekat ke arah sosok yang memiliki suara bariton tadi. "Sialan, kenapa aku harus memiliki wajah sepertimu?"

Sebelum orang yang dimaksud bisa merespons, bogem mentah sudah mendarat cantik di pipinya.

"Sasuke!"

"Raiden!"

•••

Raiden From The Future [Completed]Where stories live. Discover now