Delapan

33.1K 4.6K 314
                                    

Kennan mendorong motornya memasuki halaman rumah Febe. Dia memaki pelan untuk kesekian kalinya. Tadi, dia langsung melompat dari tempat tidur setelah menelepon Febe. Lelaki itu memang sempat mengganti pakaiannya, tapi Kennan lupa mengambil jaket. Padahal, dia menuju rumah Febe dengan motor.

Sepanjang perjalanan, pria itu sempat menggigil. Namun dia memilih meneruskan perjalanan ketimbang pulang untuk mengambil jaket. Kennan hanya terlalu bersemangat karena yakin sudah menemukan jalan keluar untuk masalahnya. Meski opsi itu sempat ditentangnya mati-matian. Bahkan saat menawari Febe menikah pun dia seperti sedang mengigau. Kennan tidak sungguh-sungguh menyadari ucapannya hingga kalimatnya tergenapi.

Setelah memarkir sepeda motornya di halaman yang cukup luas itu, Kennan langsung menuju rumah Febe yang pintunya sudah tertutup. Dia berjalan sembari menggosok-gosokkan kedua lengannya untuk menghangatkan diri. Lelaki itu masih berjarak dua meter dari pintu ketika mendadak Febe muncul dari sebelah kirinya.

"Kamu ngagetin aja," cetus Kennan sembari memegangi dadanya. Dia sempat terlonjak dan mundur selangkah saking kagetnya.

Febe menempelkan telunjuk kiri di bibir, meminta Kennan tidak berisik. Lalu, perempuan itu memberi isyarat agar pria itu menuju ke studionya saja. Kennan mengekori Febe yang berjalan cepat. Untuk kedua kalinya dalam hitungan jam, dia tanpa sengaja disuguhi pemandangan yang tak terduga. Bokong seksi milik Febe.

Pemikiran itu membuat Kennan nyaris memaki lagi. Ada apa dengan dirinya? Mengapa susunan otaknya seakan mengalami perubahan? Apakah ajakan menikah tadi pun meluncur karena pengaruh bokong Febe? Astaga!

Febe membuka pintu studionya yang lampunya sudah menyala. "Kamu tunggu di dalam sebentar."

Perempuan itu berlalu tanpa menjelaskan apa-apa. Meski penasaran, Kennan menurut. Dia kembali menduduki kursi rotan berbantalan empuk yang tadi ditempatinya. Suhu di studio jauh lebih hangat ketimbang di luar.

Lelaki itu mengedarkan pandangan. Studio itu tidak terlalu luas tapi cukup nyaman. Di salah satu sudut ruangan terdapat banyak dumbell dan ketel yang disusun rapi. Juga puluhan matras yang digulung, resistance band, medicine ball, hingga tali skiping. Di sudut lain ada seperangkat stereo.

Di dinding yang berseberangan dengan pintu masuk, ada beberapa foto berpigura yang ditempel di sana. Bukan cuma Febe yang menjadi objek foto. Febe ditemani banyak perempuan berbeda yang diduga Kennan sebagai orang-orang yang dilatihnya berolahraga.

Kennan sempat beranjak dari kursinya agar bisa melihat foto-foto itu dengan lebih leluasa. Di semua foto, Febe tersenyum lebar. Perempuan itu berkulit kuning langsat, memiliki mata yang jernih dan agak sipit, hidung sedang, dagu lumayan lancip, rambut sebahu yang dicat warna garnet glaze, serta bibir bawah yang agak tebal. Bibir yang seksi.

Kennan membatu di tempatnya berdiri. Lelaki itu menggelengkan kepala sekencang mungkin. Seolah dengan begitu, pikirannya bisa menjadi jernih lagi. Betapa tidak? Sudah dua kali dia menghubungkan kata "seksi" dengan Febe, melibatkan bokong dengan bibir. Bukankah itu gila? Bagaimana bisa dia memikirkan hal semacam itu sekarang ini?

Untungnya Febe segera kembali. Menurut perkiraannya, Kennan hanya menunggu maksimal tujuh menit. Perempuan itu datang dengan dua gelas cokelat yang masih mengepulkan asap. Seperti beberapa jam silam, Febe juga duduk di kursi tunggal yang ada di depan Kennan. Kecanggungan sempat menggantung di udara. Kennan tidak tahu harus mengucapkan apa. Tampaknya Febe pun sama. Mereka hanya saling pandang selama beberapa detik. Hingga Kennan tersadarkan tujuannya berkendara tengah malam tanpa mengenakan jaket.

"Kamu naik motor jam segini cuma pakai kaus doang?" Febe mendahului Kennan membuka percakapan.

"Iya. Aku buru-buru ke sini dan lupa pakai jaket."

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang