Dua Puluh Delapan [A]

29.2K 4.8K 414
                                    

Kennan menahan diri agar tidak menghajar Okta dan membuat wajah mulusnya menjadi bonyok. Laki-laki ini memang menguji imannya. Apa ada manusia normal yang melamar istri orang setelah kisah basi mereka sepuluh tahun silam?

"Maaf, saya rasa Febe berhak dapat privasi. Kami harus bicara empat mata. Kamu memang suaminya, tapi ini masalah saya dan Febe. Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" Okta berdiri dari kursinya. Laki-laki itu masih punya nyali untuk mengusir Kennan dari studio istrinya! Hei, yang benar saja!

"Kennan nggak akan ke mana-mana, dia berhak tau apa yang mau kamu omongin," sergah Febe. "Kalaupun dia nggak ada di sini, aku tetap bakalan cerita sama dia. Dan itu bikin males banget karena harus ngulangin cerita yang sama."

Okta memucat. Kennan nyaris tertawa melihatnya. Istrinya selalu memiliki kata-kata untuk mengejutkan manusia lain. Kennan pun sama. Hanya saja, dia bisa menyesuaikan diri dengan cepat.

"Jawabanku sama kayak waktu itu, Ta. Aku nggak bisa menerima tawaranmu. Alasannya macem-macem. Aku udah nikah, itu yang paling utama." Febe balas memeluk pinggang Kennan. "Dan kayak yang suamiku bilang tadi, dia cinta matiku."

Refleks, Kennan mencium pelipis istrinya, merasa senang karena Febe mengakui perasaan cintanya di depan orang lain. Jika berkaitan dengan Febe, tampaknya Kennan mengalami kemunduran emosional. Hal seperti ini saja sudah membuatnya kegirangan.

"Selain itu, aku nggak punya perasaan apa pun sama kamu. Kita cuma sahabatan dan udah berakhir lama. Kita bahkan hampir nggak pernah ketemu setelah aku hamil. Kamu nggak ada pas aku dikuret. Kamu ngilang gitu aja, tanpa kabar. Lalu, sekarang kamu sok-sokan jadi pahlawan? Mau menyelamatkan hidupku yang kamu kira menderita karena harus nikah sama laki-laki yang ditinggal calon istrinya supaya keluarga kami nggak malu-malu banget?"

Kennan mungkin sebaiknya memesan piza sambil menunggu istrinya selesai 'menghajar' Okta dengan kata-kata tajam dan pasti menyakitkan. Febe tidak membutuhkan siapa pun untuk membelanya.

"Aku terpaksa pergi, Fe. Mulai dari sekolah di KL sampai tetap tinggal di sana, bukan kemauanku. Mama dan Papa yang maksa. Papa bahkan mengancam bakalan bikin hidupku menderita kalau nekat balik lagi. Mereka juga yang minta aku jauh-jauh dari kamu, nggak boleh ada kontak. Kalau ketahuan, Papa bakalan mewujudkan ancamannya. Aku akan dibikin jadi gelandangan, nggak bakalan diakui lagi sebagai anak."

Itu kalimat yang tidak masuk akal. Apakah keluarga Okta menuduh Febe sudah merusak masa depan laki-laki itu? Jika iya, mengapa dokter ganteng itu sempat ingin menikahi Febe? Mengapa pula hubungan Febe dengan kakak dan adik Okta masih terjalin baik? Kennan jadi ingin benar-benar meninju Okta.

"Kamu nggak usah jual nama Om Eddy, Ta. Orangnya udah nggak ada, mustahil bisa bela diri. Intinya, selama sepuluh tahunan ini kamu nunjukin versi aslimu. Orang yang nggak peduli sama siapa pun." Febe menggerakkan tangannya yang bebas ke udara.

"Aku nggak kayak gitu, Fe! Kamu kira aku hepi di Malaysia sana? Aku berkali-kali pengin pulang."

"Jangan salah paham! Aku nggak berniat minta kamu bertanggung jawab. Tapi, paling nggak, kamu bisa nunjukin sedikit niat baik. Merasa ikut bertanggung jawab, kek. Karena aku nggak mungkin hamil sendirian." Febe menoleh ke arah suaminya. Dia bicara dengan suara lirih. "Aku nggak mau bikin kamu tambah kesel. Aku bisa ngomong sendiri sama Okta."

"Enak aja!" Kennan menggeleng kencang. "Aku tetap di sini. Aku nggak kesel, Fe. Aku cuma mau makan orang doang."

"Ken, aku serius!" sergah Febe, tapi perempuan itu tersenyum lebar.

Okta menginterupsi. "Aku udah bilang, aku dipaksa, Fe. Aku nggak punya pilihan lain. Kamu kira, selama sepuluh tahun di Malaysia aku bisa ngelupain semua yang terjadi di sini? Ngelupain kamu? Tapi aku nggak punya pilihan. Sampai kemudian aku dengar kamu nikah sama calon suami Irina. Kali ini, nggak ada yang bisa ngelarang aku lagi. Udah cukup sepuluh tahunan aku nurut, kan? Aku nggak peduli walau beneran nggak diakui jadi anak lagi sama Mama. Aku bukan Okta yang dulu. Sekarang, aku udah jadi laki-laki mandiri."

Oke, Kennan benar-benar marah sekarang. Bagaimana bisa ada laki-laki yang nekat merayu Febe di depan matanya? Namun sang istri meremas pinggang Kennan, isyarat agar dia tidak bereaksi. Menenangkan diri, dia balas meremas bokong istrinya. Febe sempat menyikutnya dengan suara tawa teredam. Namun sesaat kemudian, Febe bicara pada Okta dengan suara tajam.

"Okta, semua itu nggak ada gunanya. Apa pun yang kamu omongin, nggak akan mengubah kenyataan. Kita nggak perlu lagi membahas masa lalu. Nggak ada bagus-bagusnya."

"Sebaiknya kamu pulang aja karena ini jadi makin menjengkelkan," tukas Kennan, tak sanggup terus-menerus menutup mulut. "Jangan ganggu Febe lagi karena sekarang kami udah bahagia. Apa tadi itu masih kurang jelas? Febe bilang dia nggak cinta sama kamu!"

Tampaknya, ucapan Kennan membuat Okta kehilangan kendali. Lelaki itu bicara dengan kalimat berapi-api. Tatapannya ditujukan pada Febe.

"Kalau nggak percaya, silakan aja kamu tanya sama Mama atau Mas Nino, Fe! Mereka tau pasti kejadiannya gimana. Semua yang terjadi bukan kemauanku. Nggak pernah sekalipun aku berniat pergi gitu aja sampai bikin kamu merasa aku nggak bertanggung jawab. Waktu itu aku pengin nikah sama kamu, Fe. Itu udah jadi mimpiku sejak lama. Awalnya, semua setuju. Tapi setelah Mama ngebongkar kamarku dan ketemu obat yang kukasih sama kamu malam itu, mereka mengubah rencana. Aku harus ke Malaysia dan malah Nino yang bakalan nikahin kamu. Kalau ...."

Kennan tak bisa bernapas saat mendengar kebenaran yang disembunyikan Okta selama sepuluh tahun ini. Namun, dia belum sempat melakukan apa pun saat Febe melesat dan mencengkeram kaus depan tamu lancang itu.

"Kamu bilang apa? Kamu ngasih aku obat? Obat apa?" suara Febe menggelegar.

Tampaknya, Okta tersadar jika dia sudah kebablasan. Lelaki itu berupaya mengelak tapi tampaknya Febe bukan lawan seimbang. Hingga akhirnya Okta membuat pengakuan.

"Aku ... ngasih obat di minuman kamu, Fe. Percaya atau nggak, aku nggak punya niat jahat. Aku cuma pengin kita selalu sama-sama. Aku nggak nyangka kalau kamu ternyata ... nggak nolak waktu kucium. Aku udah berkali-kali bilang sama Mama dan Papa, kamu sadar waktu itu. Jadi, kita akhirnya tidur bareng bukan karena pengaruh obat. Kamu ...."

Febe berteriak kalap. "Aku nggak beneran sadar, tolol! Aku cuma ingat kamu nyium aku, sampai kemudian terbangun beberapa jam setelahnya. Tapi aku nggak pernah ngomong sama siapa pun karena kukira aku adalah cewek bejat yang nggak bisa jaga diri."

Kennan membeku di tempatnya berdiri. Kepalanya pengar dan oksigen seolah menipis dan sulit dihirup. Di depannya, Febe sedang meninju wajah Okta entah untuk keberapa kalinya.

Lagu : IDGAF (Dua Lipa)

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now