Dua Puluh Sembilan [B]

30.9K 4.5K 235
                                    

Mereka berboncengan naik motor Kennan dan tiba di tempat tujuan sekitar dua puluh menit kemudian. Saat pertama kali melihat rumah itu, Febe langsung jatuh cinta. Tempat tinggal yang sudah disiapkan Kennan setelah menikah itu bukan rumah mewah yang spektakuler. Namun memberi kesan hangat yang tak bisa dijabarkan Febe dengan kata-kata.

Rumah berkamar tiga itu dicat dengan paduan warna biru dan abu-abu, memiliki jendela-jendela lebar yang membuat sinar matahari bisa masuk dengan leluasa. Tidak ada teras di bagian depan, tapi ada beranda luas di belakang. Perabotannya sudah lengkap, tak ada yang kurang. Irina memiliki selera yang bagus. Hanya saja, beberapa benda tak sesuai dengan keinginan Febe.

"Fe, aku kok kepikiran mau ngubah warna cat rumah ini, ya? Gimana ...."

Febe menukas cepat. "Diganti biru dan putih kayak di Santorini?"

Kennan membelalak menatap istrinya. "Wah, pikiran kita satu frekuensi, Sunshine. Keliatannya kita makin cocok aja, nih. Jangan-jangan setelah ini kamu bisa baca pikiranku tanpa harus ngomong dulu. Gitu juga sebaliknya. Kalau iya, asyik juga. Aku jadi bisa banyak tau," cerocos Kennan. "Kalau misalnya kamu ngambek, aku langsung tau sebabnya tanpa kudu bujukin dulu."

Febe tertawa geli. Dia memeluk pinggang suaminya. Mereka sedang berdiri di teras belakang. Satu-satunya area yang tidak memiliki perabotan apa pun adalah bagian ini. Febe mungkin akan membeli sofa nyaman untuk ditempatkan di beranda ini.

"Kamu belum pernah ngeliat aku ngambek, Ken. Jangan sampai deh. Ntar kamu kewalahan ngebujuk aku."

"Kamu lagi nakutin aku, ya?" tuduh Kennan.

"Nggak, kok. Cuma ngasih gambaran doang."

Kennan terbatuk pelan. "Nggg ... gimana soal perabotan? Kita sekalian mau beli sekarang? Mumpung ada waktunya. Kalau aku bolak-balik cuti, kamu kan keberatan."

Febe memandang suaminya dengan senyum terkulum. "Kamu takut banget aku nggak nyaman, ya? Nggak bakalan, Ken. Ini soal perabotan doang, bukan masalah hidup dan mati. Palingan ada yang pengin kuganti atau ubah posisinya. Tapi nggak banyak."

"Beneran kamu nggak apa-apa?"

"Beneran, Cinta Matiku."

Respons dari ucapan Febe adalah ciuman panjang dari Kennan yang membuat perempuan itu kehabisan napas. Setelah itu, Kennan balas menatap Febe dengan seringai lebar. "Aku memang laki-laki murahan, ya? Dibilang 'cinta matiku' sama kamu aja udah senengnya nggak keruan."

"Nggak apa-apalah. Sepanjang kamu murahannya cuma sama aku. Bukan sama cewek lain." Febe bersandar di bahu suaminya. "Kalau kamu nggak keberatan, dua kamar itu bisa dijadiin studio. Selama renovasi, aku bisa pakai teras belakang ini."

"Aku nggak keberatan, H&D. Aku cuma punya satu permintaan. Ranjangmu dipindahin ke kamar kita, ya? Ukurannya pas buat kita."

Febe mengangguk setuju. "Oke. Nggak nyangka kalau ranjang sempit gitu jadi favoritmu, Ken."

"Kamu, aku, dan ranjang sempit itu rasanya klop banget. Kita satu kesatuan yang nggak terpisahkan."

"Kamu memang superlebay, deh."

"Aku kayak gini aja kamu cinta, Fe. Apalagi kalau lebih keren," tangkis Kennan.

"Nggak usah keren-keren banget lah, Ken. Bisa susah ntar akunya." Febe tiba-tiba teringat sesuatu. "Tapi kalau kita pindah, urusan makanan agak-agak terancam, Ken. Aku nggak jago masak kayak Mbak Dila."

"Nggak masalah. Aku bisa terima kamu apa adanya, Fe. Satu paket lengkap. Aku kan suami langka. Jadi, kamu nggak boleh jahat sama aku."

"Ya Tuhan, manusia satu ini memang nyebelin banget."

Mereka menghabiskan waktu untuk membicarakan rencana apa saja yang akan dibuat. Kennan memesan makanan yang mereka santap di rumah itu, tepatnya di teras belakang. Pasangan itu akhirnya sepakat akan segera pindah setelah renovasi kamar selesai. Jadi, tidak perlu menggunakan teras belakang sebagai studio sementara.

"Fe, harusnya studiomu dikasih nama yang lebih bagus. Jangan cuma Newlywed doang. Tapi jadi Hot & Delicious. Sesuai dengan panggilan sayangku buat kamu."

Febe mencubit lengan kiri suaminya. "Berarti panggilan sayangmu itu nggak spesial lagi, dong! Harusnya kan cuma buatku."

"Eh, iya juga ya. Usulku batal, deh."

Mereka disibukkan dengan rencana untuk pindah rumah. Rosita, meski tampak sedih saat diberi tahu, terkesan lega mendengar kabar itu. Sementara itu, niat Febe untuk bicara dengan Nino secepatnya, tidak bisa terwujud. Lelaki itu sedang berada di Malaysia, kemungkinan besar untuk mengantar Okta.

Di sisi lain, Irina akhirnya membawa kabar baik bahwa dia dan Nigel akan menikah dalam waktu dekat. Tanpa pesta mewah. Berita lain yang mengejutkan meski Febe mendengarnya dari Dila, keluarga Nigel tampaknya tidak menyukai sang calon menantu. Bahkan, restu tidak turun. Irina pernah mendatangi rumah keluarga pacarnya dan malah diusir.

"Menurutku, keluarga Nigel lebay. Irina dan Nigel itu pasangan yang klop. Memangnya mau nyari menantu yang kayak gimana lagi? Yang tau hobi judi dan sampai berkali-kali nguras tabungan untuk bayarin utangnya Nigel ya cuma Irina. Perempuan lain mana mau sama benalu kayak Nigel gitu. Kerja nggak pernah bertahan lama, cuma mengandalkan duit keluarganya doang. Sejelek-jeleknya Irina, dia bisa menerima Nigel tanpa syarat." Febe agak sewot mendengar kabar itu. Dia dan Dila sedang berada di dapur. Febe sedang belajar membuat soto betawi, salah satu makanan favorit Kennan.

"Namanya orangtua, Fe. Penginnya yang terbaik untuk anak-anaknya. Kayaknya mereka nggak tau soal judi-judian itu. Cuma, aku juga nggak terlalu jelas masalahnya. Soalnya, cuma modal nguping waktu Irina dan Nigel ngobrol di ruang keluarga. Untungnya Ibu nggak ada. Kalau Ibu dengar, bisa sedih banget."

Meski Irina mengesalkan dan selalu membuat Febe susah, dia tidak bisa lapang dada melihat adiknya direndahkan oleh keluarga Nigel. Apalagi, dia tahu pasti apa saja yang sudah dikorbankan Irina untuk laki-laki yang dicintainya. Salahkan cinta bodoh yang bertahan di dada dan kepala Irina.

Febe yakin, tabungan untuk resespsi adiknya digunakan untuk membayar utang Nigel. Atau mungkin dipakai demi berpesta dan berfoya-foya. Namun dia tak mengatakan apa pun di depan Rosita. Dulu, sebelum Irina memacari Kennan, perempuan itu pernah berlibur dengan Nigel, naik kapal pesiar. Nigel mengikuti acara perjudian yang digelar di kapal itu dan Irina ikut bersenang-senang. Saat itu, Irina melepaskan pekerjaannya di sebuah perusahaan pembiayaan demi mengekori kekasihnya. Makanya, Febe dan Rosita sangat lega ketika Irina memperkenalkan Kennan sebagai pasangannya.

Irina tidak pernah menyinggung seputar rencana pernikahannya. Namun belakangan perempuan itu sangat betah berlama-lama di kamar Rosita, entah membicarakan apa. Dugaan Febe, adiknya sedang membahas tentang masa depannya bersama Nigel. Meski mungkin sulit untuk dipercaya, Febe ikut bahagia karena adiknya akan menikah. Walau dia tidak yakin Nigel akan menjadi suami yang tepat untuk Irina.

Renovasi kamar yang akan disulap menjadi studio itu berjalan lancar. Bahkan lebih cepat dibanding perkiraan Febe. Hingga akhirnya dia dan Kennan bisa pindah, di bulan ketiga pernikahan mereka.

Seperti rencana semula, Febe tetap menyambangi rumah keluarganya sesering mungkin. Niatnya untuk bicara dengan Nino masih belum hilang, tapi laki-laki itu seolah didera banyak sekali kesibukan. Entah sengaja menghindari Febe atau memang Nino memiliki banyak pekerjaan.

Pagi itu, Kennan membangunkannya dengan ciuman selamat pagi yang mesra. Semua menjanjikan hal-hal baik. Terutama saat matahari mulai merekah dan sinar cerahnya menaungi Bogor. Sayangnya, pukul delapan pagi Febe menerima telepon yang selalu ditakutkannya.  Dila  bicara dengan suara serak.

"Fe, Ibu udah nggak ada."

Dila terisak-isak di seberang tanpa menjelaskan apa pun. Febe lunglai dan terduduk di lantai. Dunianya berubah gelap. Runtuh dan meremah dalam gulungan badai duka.

Lagu : A Whole New World (Peabo Bryson & Regina Belle)

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now