Sembilan

32.9K 4.5K 192
                                    

Wajah Kennan memucat. Entah pertanyaan nomor berapa yang membuatnya lebih kaget. Namun pria itu bisa menguasai diri dengan cepat. Sebenarnya, Febe tak ingin membahas masalah ini. Namun mendadak ide itu melintas di kepalanya saat Kennan makan. Siapa tahu, lelaki itu akan mengurungkan niatnya untuk menikah dengan Febe?

"Soal Irina, mungkin bakalan panjang kalau mau dibahas detail. Tapi aku nggak keberatan sih." Lelaki itu tersenyum tapi terlihat kaku. "Gini ya, Fe. Aku cinta sama Irina, makanya ngajak dia nikah. Aku selalu ngira dia pun punya perasaan yang sama. Hari pertama dia ngilang, aku masih berharap Irina cuma becanda. Mungkin dia pengin tau reaksiku kalau ditinggalin. Pokoknya, aku udah ngelewatin masa penyangkalan.

"Tapi, dalam seminggu ini ada banyak banget kejadian. Yang paling bikin cemas, tentunya soal Mama. Kalau masalah bakalan malu karena ditinggalin calon istri, nggak terlalu kupikirin. Cuma, aku udah nggak bisa tenang kalau berkaitan sama kesehatan Mama atau Papa. Andai terjadi sesuatu, pasti aku bakalan menyesal sampai mati.

"Makin ke sini aku jadi sadar, Irina nggak pernah cinta sama aku. Kalau iya, dia nggak bakalan ngelakuin semua ini. Aku sakit hati dan kecewa, itu pasti. Tapi, perasaanku udah berubah drastis. Idiot kalau aku tetap cinta dan mengabaikan perbuatan Irina. Dia berkhianat dan nggak bisa pegang komitmen."

Uraian panjang Kennan ditanggapi Febe dengan senyum tipis. "Kamu nggak jelasin inti pertanyaanku," Febe mengingatkan.

"Belum sampai ke sana, Fe," tangkis Kennan. "Kalau dia pulang, aku nggak bisa ngelarang, kan? Yang pasti, kami nggak bakalan balik lagi kayak dulu. Emangnya aku laki-laki nggak punya otak yang mau aja dioper ke sana kemari? Irina udah bikin pilihan, aku juga."

Febe tak tahu apakah dia harus senang atau kesal karena ucapan Kennan. Dia belum benar-benar mengenal pria itu, jadi tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Kennan. "Pertanyaan nomor dua?" Febe mengingatkan. Jantungnya mendadak berdegum-degum

Kali ini, Kennan tampak serbasalah. Dia tidak segera menjawab. Febe nyaris bersuara untuk mendesak laki-laki itu agar merespons. "Kenapa kamu kira Irina ngomong kayak gitu?"

"Karena kamu bukan orang pertama yang jadi korban kebohongan Irina. Sejak dia tau kalau kami bukan saudara kandung, Irina mulai sering ngarang cerita untuk mojokin aku. Apalagi pas SMA, ada kejadian yang bikin Irina sakit hati banget sama aku. Padahal aku merasa nggak melakukan apa-apa."

"Oh ya? Kejadian apa?"

"Masalah cowok." Febe tersenyum pahit. Dia tidak pernah paham mengapa Irina merasa terancam dengan keberadaannya. "Dulu, di sekolah kami ada cowok blasteran yang memang cakep banget. Namanya Nigel. Dia jadi rebutan semua cewek di sekolah. Termasuk Irina. Sampai kemudian si Nigel ini mulai mendekati adikku. Tapi, Irina bilang, Nigel ternyata naksir aku. Dekat-dekat Irina cuma kamuflase aja karena mau nyari info soal aku." Febe mengangkat bahu. "Jujur, aku nggak percaya sama sekali. Nigel memang cocoknya jadi pasangan Irina. Dan terbukti kemudian, mereka memang pacaran walau putus-sambung."

Glabela Kennan berkerut. "Gara-gara itu Irina jadi benci sama kamu?"

"Itu cuma pelengkap penderita. Kejadiannya pas aku aku kelas tiga SMA. Sementara Irina masih kelas satu. Gosip yang muncul, aku lesbian. Sempat heboh banget waktu itu. Cuma, aku nggak terlalu peduli karena lagi naksir sama Jonas. Aku nganggapnya cuma gosip iseng."

"Irina yang nyebarin?" Kennan tampak tak percaya. Febe tidak menyalahkannya karena lelaki itu mencintai Irina.

"Iya, Irina yang ngomong ke mana-mana. Cuma waktu itu aku juga nggak ngeh, taunya baru belakangan." Ditatapnya Kennan dengan mata menyipit. "Aku tau kok kamu nggak bakalan percaya kalau Irina sanggup ngelakuin hal kayak gitu. Nggak masalah. Karena kamu ngeliat dia dengan mata dipenuhi cinta. Dua tahunan pacaran kamu masih nggak kenal Irina dengan utuh, baik dan buruknya. Aku beneran kagum sama kamu."

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Där berättelser lever. Upptäck nu