Lima Belas

35.1K 4.9K 232
                                    

Entah logis atau tidak, salah satu hal yang mencemaskan Febe saat memutuskan untuk menikah adalah mendapati bahwa Kennan mendengkur. Dia terbiasa dengan kamar tidur yang sepi dan tenang. Nyatanya, ketakutan Febe tidak terjadi. Lelaki yang sekarang menjadi suaminya itu tidak mendengkur.

Meski demikian, bukan berarti menyesuaikan diri dalam kehidupan rumah tangga menjadi lebih mudah. Pasalnya, semua serba mendadak. Kini, Febe harus terbiasa melihat Kennan di sekitarnya dalam banyak kesempatan.

Sejak awal, Febe menebak bahwa mereka mungkin akan menjadi pasangan anomali. Hal itu terbukti dengan segera. Tak tahu harus melakukan apa, hari pertama menjadi Nyonya Kennan Arkadia malah dihabiskan Febe dan suaminya di gym hotel.

Untungnya, malam pertama dan kedua mereka di hotel, cukup mulus. Akan tetapi, situasinya berbeda saat mereka pulang ke rumah dan tidur di kamar Febe. Beralasan tak mau Febe terjatuh karena menempati area tepi ranjang, Kennan malah memeluknya. Saat itu, Febe yang -boleh dibilang- tidak pernah dipeluk lawan jenis dengan kondisi seintim itu, sempat menahan napas entah berapa lama.

Jantung Febe seolah meluncur dari ketinggian. Dia benar-benar tak berani bergerak. Bahkan setelah kembali bernapas normal pun dia melakukannya dengan lamban dan hati-hati. Untungnya Kennan tertidur dengan cepat, dipastikan dengan suara napasnya yang teratur. Febe bisa merasakan embusan napas lelaki itu di rambutnya.

Kennan cuma memeluknya, bukan hal yang istimewa jika mengingat status mereka sebagai suami istri. Namun ternyata hal itu menyusahkan Febe. Dia berusaha memejamkan mata sekuat tenaga. Melakukan semua teori yang pernah dibacanya untuk memanggil kantuk. Gagal. Ketika dia beringsut pelan agar menjauh dari Kennan, lelaki itu malah mengetatkan pelukan.

Febe tidak tahu pukul berapa akhirnya dia terlelap. Yang pasti hal itu menjadi biang keladi hingga dia yang memang tak pernah bangun terlalu pagi, kesiangan. Ketika Febe membuka mata, hidungnya langsung mencium aroma kopi. Refleks, dia menoleh ke kanan. Namun, bukannya melihat nakas, dia justru mendapati Kennan sedang memiringkan tubuh sambil menatapnya.

"Kenapa kamu ngeliatin aku serius gitu?" Febe langsung bereaksi. Perempuan itu buru-buru menarik ujung selimut yang awalnya menutupi pinggulnya. Lalu, Febe menggunakan benda itu untuk menutupi mulutnya. Melihat apa yang dilakukan Febe, Kennan malah tertawa geli. Sepertinya, lelaki itu sudah mandi.

"Kamu ternyata sopan banget. Langsung nutup mulut karena nyadar baru bangun tidur dan belum sikat gigi." Kennan membenahi posisi bantalnya. Namun lelaki itu kembali menghadap ke arah Febe.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," Febe mengingatkan.

"Soal kenapa ngeliatin kamu? Hmmm, aku nggak tau alasannya. Anggap aja gini, ngeliatin orang tidur ternyata asyik juga. Soalnya aku juga nggak tau mau ngapain di luar. Mbak Dila lagi sibuk masak, Ibu ada di kamarnya. Kalau aku bantuin masak, pasti diusir dari dapur." Kennan menunjuk ke arah nakas yang berada di belakangnya. "Aku udah bikinin teh tanpa gula buatmu, Fe. Atas rekomendasi Mbak Dila."

Rasa malu Febe berlipat ganda. "Aku nggak bisa bangun pagi, itu memang kebiasaan jelek. Tapi, walau kamu lagi nggak ada kerjaan sekalipun, nggak perlu bikinin teh buatku. Aku bisa bikin sendiri." Febe buru-buru duduk.

"Aku lagi baik hati aja," balas Kennan santai. Kini, lelaki itu menelentang. "Ternyata kayak gini rasanya bermalas-malasan di pagi hari. Nggak perlu mikirin kerjaan."

"Emangnya kamu nggak pernah malas-malasan gini?" Febe beranjak dari ranjang. Dia berjalan menuju meja rias untuk mengambil penjepit rambut.

"Hampir nggak pernah. Mama suka ngomel kalau aku berlama-lama di kamar pas hari libur. Pagi-pagi, kami terbiasa ngabisin waktu untuk nyiapin sarapan bareng-bareng, udahnya ngobrol di meja makan. Mbak Mieke dan Mbak Sacha juga biasanya datang ke rumah tiap hari Minggu."

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now