Dua Puluh Delapan [B]

28.1K 4.7K 189
                                    

Seharusnya, ada tempat khusus di neraka untuk orang-orang seperti Okta. Merasionalkan kebejatan atas nama cinta. Manusia dengan akal sehat takkan sanggup mencerna alasan mereka.

Kennan akhirnya maju, menarik Febe agar menjauh dari Okta yang kaus depannya sudah diperciki darah. Lalu, dia menghadiahi laki-laki bejat itu sebuah jab di bagian wajah. Okta tak sempat melawan dan terdorong ke belakang, menimpa meja hingga kacanya pecah.

"Keluar dari sini dan jangan pernah lagi muncul di depan kami. Atau, aku lapor polisi untuk tuduhan pemerkosaan," ancam Kennan dengan emosi tinggi yang nyaris memecahkan kepalanya. "Aku bakalan dengan senang hati bikin kamu masuk penjara."

Lalu, Kennan berbalik untuk memeluk istrinya. Dia tak memiliki kalimat apa pun untuk menghibur Febe. Kennan bahkan tidak berani membayangkan perasaan hancur yang sedang menerjang istrinya.

"Fe, kenapa?" Dila berlari masuk ke dalam studio. Sementara Okta sudah berdiri dengan darah mengucur dari telapak tangannya, mungkin terkena pecahan kaca.

"Mbak, tolong antar orang ini ke depan. Kalau dia datang lagi ke sini, langsung aja lapor polisi," tukas Kennan dengan suara dingin.

Dila menatap mereka berganti-ganti tapi tidak mengatakan apa pun. Beberapa saat kemudian, perempuan itu mengekori Okta yang mulai berjalan ke arah pintu.

Kennan memejamkan mata, tidak menduga jika hari ini mereka akan bersemuka dengan kebenaran yang mengerikan. Bagaimana bisa seseorang melakukan hal semacam itu pada sahabatnya sendiri dengan dalih cinta? Apa pula alasan keluarga Okta mengambil langkah seperti yang dibeberkan Okta? Tampaknya, mereka berutang banyak penjelasan pada Febe.

Istrinya tidak menangis, hanya menempelkan pipinya di dada kiri Kennan sembari memeluknya dengan erat. Hal itu malah membuat Kennan cemas. Febe butuh melampiaskan emosi yang sedang menumpuk di dadanya. Menangis tentu akan membuat perempuan itu lebih lega. Kennan mengelus punggung istrinya dengan lembut.

"Baby Girl, kamu cuma perlu ingat satu hal aja. Kamu punya aku, cinta matimu," bisik Kennan selembut mungkin. "Masa lalu sama sekali nggak penting. Nggak usah diingat lagi. Apa pun yang pernah kamu alami, aku bersyukur karena kamu yang jadi istriku."

Febe tak menjawab. Perempuan itu hanya mengetatkan pelukannya. Kennan mencium rambut istrinya.

"Apa yang harus kulakukan untuk bikin bebanmu berkurang, Sayang?"

Tangis Febe akhirnya pecah. Perempuan itu terisak-isak dengan suara pilu yang membuat hati Kennan makin hancur. Mereka mungkin berdiri sembari berpelukan hampir sepuluh menit. Kennan membiarkan istrinya menumpahkan kesedihan.

"Kita pulang, yuk?" ajaknya setelah isakan Febe mereda.

Febe akhirnya mengangkat wajah yang basah oleh air mata. Tangan kanan Kennan bergerak untuk mengeringkan pipi istrinya. Mata Febe membengkak karena banyak menangis. Hidungnya memerah.

"Aku mau beresin mejanya dulu."

"Nggak usah!" larang Kennan. "Biar Mbak Dila aja yang ngurusin. Kita pulang." Tanpa menunggu jawaban Febe, Kennan membopong istrinya. Untungnya Febe tidak meronta. Perempuan itu memeluk leher Kennan.

Mereka sempat berpapasan dengan Dila di dekat studio. Meski jelas-jelas tampak keheranan, perempuan itu tidak mengatakan apa pun. "Mbak, tolong beresin studio, ya? Saya dan Febe nggak akan turun untuk makan malam."

Kennan lega karena mereka tidak berpapasan dengan Rosita atau Irina. Jika ibu mertuanya melihat Febe dibopong suaminya, tentu akan muncul banyak pertanyaan. Febe pun pasti tidak mau ibunya cemas. Sementara jika bertemu Irina, kemungkinan besar mereka akan mendengar kata-kata menyebalkan yang tidak pada tempatnya. Saat ini, Kennan tak ingin ada yang membuat istrinya makin kesal.

Dia mendudukkan Febe di tepi ranjang. Kennan berlutut di depan istrinya, memeriksa punggung tangan Febe yang bernoda darah. Buku-buku jari Febe berwarna kemerahan dan ada bagian yang kulitnya terkelupas. Kennan mengecup satu per satu jari istrinya dengan hati-hati. Dia mendengar Febe terisak lagi.

"Kamu di sini aja, ya? Aku mau ngambil es batu dulu. Tanganmu harus dikompres supaya nggak bengkak." Tangan Kennan terangkat untuk menghapus air mata Febe. Hatinya sakit sekali melihat Febe begitu sedih. Namun, Kennan tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah masa lalu.

"Aku mau mandi dulu, Ken," gumam Febe dengan suara serak karena banyak menangis. "Kamu makan aja duluan. Aku nggak selera."

Kennan sama sekali tidak berminat menelan apa pun. Selera makannya sudah direnggut oleh Okta, si bajingan itu. Meski tak setuju jika Febe sama sekali tidak mengisi perut, Kennan tak mau memaksa. "Ya udah, gitu juga boleh. Aku pakai kamar mandi di bawah aja. Nanti kubawain es batu." Lelaki itu mengelus pipi kanan istrinya. "Mandinya jangan lama-lama, ya?"

Febe tersenyum samar. "Aku nggak akan kayak cewek lain yang mandi berjam-jam setelah tau jadi korban perkosaan, Ken. Trus menggosok sekujur tubuh sampai luka atau lecet."

Kennan mencium ujung hidung istrinya sebelum berdiri. "Aku tau. Kamu adalah Febe, perempuan hebat yang langka. My Baby Girl."

Usai mandi, Kennan menepati janjinya. Dia kembali ke kamar dengan mangkuk kaca berisi dua kantong plastik es batu yang sudah ditaburi sejumput garam. Tadi Dila menawarinya makanan untuk dibawa ke kamar tapi ditolak Kennan. Istrinya sudah berada di kamar, sedang mengeringkan rambut.

Setelahnya, lelaki itu mengompres kedua punggung tangan istrinya. Kennan duduk dengan punggung menempel di headboard ranjang sementara Febe bersandar padanya. Handuk dibentangkan di atas pangkuan Febe agar air dari es batu tidak membasahi celana pendek yang dikenakan perempuan itu.

"Ken," panggil Febe setelah bermenit-menit hanya membisu.

"Ya, Sunshine."

"Apa yang harus kulakukan? Aku nggak tau kalau hidupku sedrama ini. Kejadiannya di rumah pohon, adanya di belakang rumah Okta. Kami biasa ngobrol di sana. Nggak cuma sama Okta, kadang Nino juga ikut gabung. Aku ingat banget kalau hari itu aku ribut besar sama Irina. Karena Okta satu-satunya sahabat yang aku punya, aku ke rumah pohon untuk curhat. Aku nggak terlalu ingat dia ngasih minuman. Tapi kalaupun iya, itu bukan hal yang aneh. Di rumah pohon itu selalu ada persediaan air minum dan camilan.

"Aku memang ingat Okta menciumku. Setelahnya semua makin kabur dan aku baru beneran sadar beberapa jam kemudian. Aku nggak pernah mikir udah jadi korban perkosaan. Selama sepuluh tahun ini, aku merasa jadi perempuan jalang, terutama karena udah bikin Bapak kecewa. Itu yang paling kusesali. Aku nggak pernah mikirin Okta yang ngilang gitu aja. Nggak pernah menyalahkan dia. Aku selalu nyalahin diri sendiri. Tapi ternyata kejadiannya kayak gini."

Kennan mendekap istrinya. Dia paham kepedihan Febe. Perempuan ini sangat mencintai ayahnya. Selama bertahun-tahun dia sudah menderita karena mengira membuat kecewa orangtuanya. Tahu-tahu hari ini kebenaran terungkap. Febe lebih menyesali ketidaktahuan sang ayah tentang apa yang sebenarnya terjadi ketimbang apa yang sudah dialaminya.

"Kamu pengin gimana? Bikin laporan ke polisi?" tanya Kennan hati-hati.

Febe menggeleng. "Untuk apa? Walaupun Okta masuk penjara, nggak akan ada gunanya buatku. Kalau lapor ke polisi, mau nggak mau aku harus cerita detailnya, kan? Aku memang nggak banyak ingat, tapi pasti jadi kebayang lagi semua hal-hal buruk yang terjadi setelah malam itu. Masalah janinku dan Bapak." Febe meletakkan kantong plastik yang digunakan untuk mengompres ke dalam wadah kaca. Perempuan itu mengeringkan tangannya dengan handuk. Lalu, Febe memeluk Kennan dengan kencang.

"Aku cinta sama kamu, Fe. Aku pengin bisa bikin penderitaanmu berkurang. Tapi aku nggak tau caranya."

"Jangan ke mana-mana," bisik Febe. "Peluk aku sampai pagi, Ken."

"Iya, Sayang. Iya."

Lagu : Nothing's Gonna Change My Love For You (Westlife)

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang