Dua Puluh Sembilan [A]

30.5K 4.7K 133
                                    

Febe tidak bisa tidur sama sekali. Kennan menemaninya, ikut-ikutan tak memejamkan mata. Febe sudah menyuruh suaminya tidur tapi laki-laki itu tidak menurut. Dia tahu jika Kennan berusaha menghiburnya. Hal itu membuat Febe sangat tersentuh. Keputusannya untuk menikah dengan Kennan ternyata memang tepat.

Perempuan itu tahu, orang bijak selalu berpendapat bahwa Tuhan tidak pernah menguji hamba-Nya melewati batas kemampuan yang bersangkutan. Febe sudah membuktikan itu. Dia mampu menghadapi semua badai yang menyerangnya bertahun-tahun ini. Akan tetapi, hari ini Febe belajar satu hal lagi. Bahwa Tuhan juga selalu menyiapkan penawar untuk setiap rasa sakit yang dideritanya.

Tuhan menghadirkan Kennan dalam hidupnya. Lelaki itu menjadi pasangan yang dibutuhkan Febe. Kennan pasti memiliki kekurangan, tapi lelaki itu sempurna untuk Febe. Rumah tangga mereka yang baru berumur sebulan mungkin akan karam jika bukan Kennan yang menjadi suami Febe. Entah karena ibunya yang tak menyukai Febe atau disebabkan masa lalu perempuan itu yang baru terbongkar.

Sepuluh tahun terakhir, Febe belajar untuk menjadi orang yang realistis dan melihat segala hal dari kacamata positif. Tidak mudah tapi dia berjuang untuk melakukan itu. Karena Febe hanya memiliki Rosita. Dia harus bisa menolong diri sendiri sebelum melindungi ibunya.

Jadi, setelah hujan air mata dan penghiburan yang diberikan suaminya, Febe bisa lebih tenang. Hal pertama yang terpikirkan perempuan itu adalah jika Okta tidak memerkosanya hingga membuahkan janin di rahimnya, hidup Febe takkan seperti sekarang. Dia mungkin menikahi orang lain, bukan Kennan. Bahkan, bisa saja Febe justru menjadi istri Okta.

"Ken, gimana kalau kita pindah dari sini?" tanya Febe. Kennan pasti kaget mendengar ucapannya karena lelaki itu merenggangkan pelukan supaya bisa leluasa menatap istrinya.

"Kenapa? Ada masalah apa?" tanyanya cemas.

"Nggak ada apa-apa. Jangan curiga gitu, deh," sahut Febe. "Kemarin itu aku sempat ngobrol sama Ibu. Intinya, Ibu cemas kalau kita jadi bermasalah gara-gara Irina. Aku nggak kepikiran bakalan pindah setelah nikah. Tapi kalau ngeliat situasinya, memang nggak ideal kalau kita tetap di sini. Apalagi Ibu tau kalau aku dan Irina sering bersitegang. Aku nggak mau nantinya hal itu malah bikin kesehatan Ibu jadi drop."

Kennan tampak terkesima mendengar uraian panjang Febe. "Kamu kan selama ini nggak bisa jauh dari Ibu. Waktu di Santorini aja pun kamu bisa nelepon ke rumah lebih dari sekali tiap harinya." Lelaki itu tersenyum tipis. "Gini ya, Sunshine. Jujur aja, aku memang lebih senang kalau kita pindah. Tapi, aku nggak mau nantinya kamu menyesal dan sedih gara-gara jauh dari Ibu. Jangan ambil keputusan terburu-buru. Oke?"

Febe menggeleng pelan. "Ini bukan keputusan impulsif, kok. Aku udah mempertimbangkan soal ini selama berhari-hari. Awalnya tetap berat untuk pindah. Apalagi Ibu nggak mau kuajak tinggal bareng kita. Ibu penginnya tetap di sini. Tapi hari ini aku bisa mikir lebih objektif. Selama Irina tinggal di sini, situasinya bakalan nggak kondusif. Dia bakalan terus bikin kita nggak nyaman. Trus ... ada kejadian tadi. Aku beneran pengin jauh-jauh dari orang-orang yang bisanya cuma nyebarin energi negatif."

Perempuan itu serius dengan kata-katanya. Dia ingin fokus membangun kehidupan dengan suaminya. Febe sudah tiba di titik untuk melepaskan hal-hal yang tak bisa dipertahankan dan berjuang untuk sesuatu yang berharga baginya.

"Kamu pengin pindah ke mana? Udah ada tempat yang kamu incar?" tanya Kennan.

"Udah. Rumahmu."

Alis Kennan bertaut. "Kamu nggak keberatan serumah sama Mama? Aku keberatan. Aku nggak mau kamu malah jadi nggak bahagia."

Febe tersenyum kecil. "Bukan rumah Mama. Tapi rumah pribadimu. Yang nyaris kamu tinggalin kalau waktu itu Irina nggak kabur."

Kekagetan berpijar di mata suaminya. "Kamu mau pindah ke sana?"

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now