Dua Puluh Tujuh

32.1K 4.9K 294
                                    

Ruang cuci berada di area dapur, bersebelahan dengan kamar mandi. Seharusnya, tidak ada siapa pun di sana saat tengah malam seperti ini. Nyatanya, Dila sedang mengambil air minum saat Febe memasuki dapur. Tatapan menuduhnya langsung ditujukan pada seprai yang ada di tangan Febe. Diikuti cekikikan geli. Dila meletakkan botol air minumnya di atas meja makan, urung kembali ke kamarnya.

"Kalian ngapain aja sampai harus ganti seprai tengah malam gini?" tanya Dila dengan nada jail yang membuat wajah Febe terasa terbakar. Perempuan itu tak menjawab. Dia meletakkan seprai kotor itu di bak cuci. "Cieee, ada yang pura-pura budek," imbuh Dila lagi. "Untung tadi kelupaan bawa air minum. Jadinya bisa jadi saksi ada sesuatu yang mesum."

"Seprainya kotor, Mbak. Makanya diganti," jawab Febe asal-asalan.

"Iya, tapi kotornya kenapa? Kan baru dipakai."

Manalah mungkin Febe memberi tahu Dila tentang apa yang dilakukan Kennan dengan madu yang tadi dibeli lelaki itu. Karena itu dia cuma menjawab, "Ketumpahan kopinya Kennan."

"Oh ya? Kopi atau 'kopi', Fe?" respons Dila sembari membuat tanda kutip di udara. Perempuan itu jelas-jelas tidak memercayai kata-kata Febe. Hal itu membuat Febe merasa seolah tertangkap basah saat melakukan hal yang memalukan. Padahal, ini semua salah Kennan. Kalau saja suaminya tidak memiliki ide aneh, takkan ada aktivitas mengganti seprai tengah malah begini.

"Kopi beneran, Mbak," sahut Febe, defensif. "Udah ya, aku mau tidur lagi. Keponya kelar sampai di sini aja."

Febe kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua, meninggalkan Dila yang malah tertawa geli. Ketika melewati pintu kamar Irina, sayup-sayup Febe mendengar suara orang sedang berbincang. Kemungkinan besar, Irina belum tidur dan sedang bicara di telepon. Barangkali dengan Nigel.

Pagi ini, setelah melihat bagaimana Kennan menangani situasi canggung yang sengaja diciptakan Irina, Febe tahu satu hal. Dia tak perlu mencemaskan Kennan dan masa lalunya dengan Irina. Lelaki itu menepati janjinya, tahu di mana posisinya. Akan tetapi, mereka menghadapi masalah yang jauh lebih besar.

Okta? Tentu saja bukan. Walau laki-laki itu mengejutkan Febe saat mendatangi studio beberapa jam silam. Dia nyaris tak mengenali laki-laki itu. Okta jauh lebih menawan dibanding yang diingat Febe. Seingatnya, dulu Okta tak sejangkung itu. Okta remaja cenderung kurus dan berkulit cokelat. Namun, yang ada di hadapanya tadi adalah pria menawan berkulit bersih, rapi, dan bergaya trendi. Bertahun-tahun tak bertemu, tanpa berkabar, tahu-tahu Okta mengaku bahwa Febe adalah cinta matinya. Yang benar saja?

Bagi laki-laki itu, butuh hingga satu dekade demi memastikan posisi Febe di hatinya. Sementara bagi perempuan itu, sejak awal dia sudah tahu bahwa Okta tidak memiliki tempat spesial di hatinya kecuali sebagai sahabat belaka. Itu pun hanya ada di masa lalu.

Febe tak pernah dibuat bingung oleh hal-hal semacam itu. Dia sangat tahu apa yang diinginkan hatinya. Cuma Kennan yang membuatnya bimbang. Karena perasaannya pada laki-laki itu terus bertumbuh sejak mereka menikah. Dia tak bisa memandang Kennan sama seperti hari pertama mereka tidur seranjang. Semuanya sudah berbeda jauh saat ini.

Kembali ke masalah besar tadi, apalagi jika bukan dengan keluarga Kennan? Dengan ibu mertua Febe, terutama. Kennan memang mengaku tidak sedang melindunginya, tapi Febe tahu sebaliknya. Lelaki itu ingin menanggung sendiri hinaan yang sudah pasti dilontarkan Lydia untuk Febe. Bukan itu yang diinginkan Febe. Tak seharusnya Kennan atau siapa pun yang disalahkan atas kebodohan dan dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu.

Sebenarnya, sejak Kennan meninggalkan rumah tadi siang, Febe terus bertanya-tanya sendiri. Apakah Lydia akan meminta mereka berpisah? Oke, anggap dia bodoh dan terlalu terpengaruh cerita sinetron atau novel-novel romance. Namun, itu bukan hal yang mustahil meski Kennan tak mengatakan apa pun. Jika itu memang terjadi, apa yang harus dilakukan Febe?

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now