Dua Puluh

36.8K 4.8K 350
                                    

Kennan terbangun hampir pukul setengah tujuh waktu setempat. Di luar, sang surya masih bersinar lumayan garang. Ini bulan Agustus, musim panas sedang berada pada puncaknya. Matahari baru akan terbenam sekitar pukul delapan malam.

Lelaki itu berguling ke kiri dan mendapati Febe sedang duduk bersandar sembari memandang ke luar. Dari atas ranjang yang mereka tempati, pemandangan indah Santorini bisa disaksikan dengan mudah.

"Kamu nyenyak banget tidurnya. Bikin aku iri." Febe menoleh ke kanan. "Aku tadi nyoba tidur lagi tapi nggak bisa. Gara-gara kamu, nih! Lagi enak-enak tidur, malah ganggu."

"Iya, maaf. Aku memang berdosa," balas Kennan berlebihan. Lelaki itu meregangkan tubuh. Keletihannya karena melewatkan perjalanan puluhan jam, sudah berkurang drastis.

Tindakan impulsifnya terbang ke Santorini untuk menyusul Febe, mungkin hal yang berisiko. Namun, istrinya tidak memprotes. Hanya kaget. Mungkin lebih tepatnya terlalu kaget hingga nyaris tak bisa bicara. Meski demikian, hal itu melegakan Kennan. Karena jika Febe tidak suka Kennan mengikutinya ke Yunani, perempuan itu takkan sungkan menumpahkan isi kepalanya.

"Kamu lapar nggak, Ken? Udah mau makan?" Febe menggeser guling yang terjepit di kakinya. Mau tak mau, mata Kennan pun tertuju ke sana. Ini kali pertama dia melihat istrinya mengenakan celana pendek hingga menampakkan sebagian paha Febe yang berkulit kuning langsat. Biasanya, Febe mengenakan celana pendek selutut atau malah celana panjang.

"Aku masih kenyang. Mungkin satu jam lagi. Atau, setelah kita ngeliat sunset." Kennan mengalihkan tatapan ke arah matahari yang makin tergelincir ke barat.

Kamar hotel yang lebih mirip rumah ini adalah tempat ideal untuk menyaksikan matahari terbenam. Tempat ini jg cukup menjanjikan privasi. Tidak ada orang yang bisa leluasa melewati kamar-kamar yang menempati area berbukit-bukit itu tanpa persetujuan pihak hotel. Jika tadi Febe mengaku tidak mengenalnya, sudah pasti Kennan mustahil berada di sini.

"Eh, tapi kamu sendiri gimana? Kalau udah lapar, kita bisa nyari makanan sekarang." Perhatian Kennan tertuju pada area kemerahan di bawah bibir istrinya. "Jerawatmu itu lumayan gede lho, Fe. Jangan sampai pas gigit bibir, malah kena jerawat. Pasti maknyus banget rasanya."

"Ngapain aku harus gigit bibir?" tanya Febe tak mengerti.

"Itu kan kebiasaanmu kalau lagi salting atau sejenisnya."

Febe menegakkan tubuh, duduk bersila menghadap ke arah Kennan. Perempuan itu menatapnya dengan serius. "Kamu pilih mana, Ken? Mulut, mata, pipi, atau dagu?"

"Kenapa? Kamu mau nyium aku lagi? Ya di bibirlah."

"Ish, ge-er. Aku mau ninju kamu. Karena selalu ngeselin." Febe mencibir. "Kepedean."

"Aku nggak kepedean, Sayang. Aku optimis. Kamu kan istriku, wajarlah kalau ...."

"Ngapain pula kamu panggil aku 'Sayang'?" protes Febe.

"Jadi, kamu dipanggil apa?"

"Ya namaku aja. Febe. F-E-B-E," ejanya.

"Oh, belum boleh ngasih nama spesial, ya?" goda Kennan. Dia mati-matian menahan tawa melihat wajah Febe yang memerah tua serupa tomat matang. "Terserah kamu aja, deh. Titahmu wajib untuk kupatuhi."

Febe geleng-geleng kepala. "Kamu ... entahlah. Aku nggak tau harus ngomong apa. Kamu ngejutin banget. Kadar iseng dalam darahmu itu bikin melongo."

Kennan duduk. "Karena aku nggak kayak anak manis yang kamu bayangin? Yang ternyata jauh lebih iseng dibanding manusia di sekelilingmu? Ayolah Fe, hidup nggak ada serunya kalau nggak ada becandanya. Dan kayaknya selama ini kamu dikelilingi orang-orang yang serius. Pengecualian mungkin Mbak Dila. Nah, aku justru bikin hidupmu penuh warna."

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now